Inspirasimakassar.com :
Tepat pukul 20.00 WIT, kami segera kembali ke Masohi. Saat pamitan, sejumlah tetangga Nyong-ponaan saya- berdatangan. Mereka menyarankan kami bermalam di Negeri Haya. Alasan mereka sudah malam dan akan turun hujan. Hanya saja, saya tetap pada pendirian. Harus kembali ke ibukota Maluku Tengah tersebut, malam itu juga. Pendirian itu lantaran ingatan akan sebait syair Makassar “Le’ba kusoronna biseangku, kucampa’na sombalakku, tamassaile punna teai labuang”—Bila perahu telah kudorong, layar telah terkembang, takkan ku berpaling, kalau bukan labuhan yang kutuju!!
Saya minta Nyong mengambil tas plastiK, untuk mengamankan kamera Nikon D700. Persis keluar perbatasan Haya, gerimis mulai meng-adang saya dan Fauzan. Kamera Nikon aman. Hanya saja, HP Oppo dan pakaian di badan basah. Semakin menjauh dari Haya, semakin membayangi berbagai hal. Tidak lain, karena sekalipun mulus, namun jalanan licin, juga di tengah hutan. Kiri kanan, gelap gulita.
gelap gulita
Dalam perjalanan, bayangan saya selalu terfokus ke Tamilouw. Mengapa? Ya, karena, negeri Mositoa Amalatu ini menyimpan kisah dan peristiwa spiritual dan sakral. Kesakralan karena di sekitaran negeri ini–tepatnya di Hatu Mari, ada peristiwa maha penting. Penting karena, satu keluarga yang terdiri dari tiga orang, semuanya lelaki, masing-masing Timanole, Simanole, dan Silaloi, berjanji dan bersumpah setia.
Sumpahnya, tidak mai-main. Jari kelingking mereka diikat dengan tulang daun seribu. Kemudian dilukai. Tetesan darah ditampung dalam mangkuk kayu, kemudian diminum bersama-sambil berjanji tidak boleh saling melupakan. Tidak boleh saling melukai. Tidak boleh saling menikah. Dan, siapapun yang melanggar perjanjian tersebut, kena kutukan, hingga anak-anak cucu.
Setelah sumpah setia itu diikrarkan, ketiganya yang meninggalkan tanah kelahiran di Hatumeten, akibat perang Hotebanggae itu pun berpisah. Timanole menetap di Hatu Mari, sementara kedua adiknya melanjutkan perjalanan menggunakan perahu. Dalam perjalanan, keduanya menemui hambatan. Angin dan hujan begitu deras, hingga tidak kelihatan daratan.
Setelah siang hari, perahu mereka kandas, persis di Hatuila atau labuhan Ananas, di belakang tanjung Ouw–pulau Saparua. Saat itu, Silalaoi tidak mau melanjutkan perjalanan. Dari tanjung Ouw ini, dia menuju salah satu bukit, yang kemudian diberi nama Elhauw di Siri Sori Islam. Sementara, Simanole melanjutkan perjalanan—mengarah pulau kecil, Molana. Terus menuju teluk Baguala dan singgah di Wai Yori. Lokasi ini kemudian dinamai Siwa Samasuru Amalatu, atau Hutumuri.
Suatu saat, dua saudara kandung mereka masing-masing, Nyai Intan dan Nya Mas. Keduanya hendak mencari jejak ketiga saudaranya tersebut. Yang satu, kemudian menikah di Wai di pulau Ambon dengan seorang lelaki bermarga Bakarbessy. Sedangkan saudara perempuan lainnya menikah dengan seorang bermarga Manuhutu di Haria Pulau Saparua. Kelima saudara ini, kemudian menjadi ikatan persaudaraan antar kelima negeri, hingga saat ini. Tidak boleh saling menghianati. Tidak boleh bermusuh-musuhan. Kekerabatan, persaudaraan, dan tetap menjaga hubungan kerahiman dengan baik.
Masjid Tamilow
Kisah kelima saudara kandung ini, sesungguhnya telah merefleksikan terjadinya internalisasi budaya dari berbagai tradisi yang hidup dan berkembang di tanah Maluku. Secara sosiologis, kisah mereka memberikan inspirasi karakteristik dan pemahaman tentang konsensus-konsesnsus budaya yang lahir jauh, sebelum konsensus-konsensus yang dibangun saat ini.
Mendekati jembatan tak jauh dari Hatu Mari—tempat ketiganya berpisah, saat berpapasan di tanjakan nan panjang dan menikung, saya teringat Fauzan. Takutnya dia tertidur. Sebab, perjalanan malam, disertai gerimis, dan tipuan angin. Makanya, sesekali, tangannya ku-ambil, sekaligus jemarinya ku remas-remas. Namanya, juga ku sebut-sebut…Fauzan..Fauzan.. Fauzan… Saya senang, lantaran dia bilang ‘’tidak ku tidur ji”—saya tidak tidur—dengan logat Makassar.
Lima bulan lalu, yakni usai pelantikan Drs,H.Eddy Pattusahusiwa sebagai raja defnitif Siri Sori Islam, saya menyempatkan diri ke Hatu Mari tersebut. Saya menyaksikan secara dekat, batu besar berdiri tegak di sekitar 5 meter dari bibir pantai. Di atas batu, ditumbuhi dua pohon kecil. Sekalipun agak seram!, namun, melihat Hatu Mari, seakan membangkitkan kembali rasa bangga atas kisah dan bangunan kerahiman yang pernah direkatkan para leluhur, ratusan tahun silam. Harapan terbesar dari keyakinan itu, setidaknya menjadi pemahaman untuk lebih mencetuskan cara berpikir positif generasi saat ini.
Saat melewati masjid di Dusun Meum—masih di petuanan Tamilouw, saya sempat balik ke masjid tersebut, lantaran dari arah masjid saat tarawih terdengar teriakan Alaee—sama seperti teriakan alae di negeri saya, Siri Sori Islam. Fauzan balik bertanya, kenapa balik lagi. Saya bilang, coba dengar Alaee itu. Hanya saja, tidak sebesar di Masjid Baiturrahman Siri Sori Islam. Saya suruh Fauzan mengambil gambar dari jarak jauh. Di halaman masjid itu juga terdapat papan bicara yang dibuat parmanen oleh mahasiswa KKN gelombang II tahun 2011 Universitas Darussalam Ambon.
Di masjid inilah saya mendengar teriakan Alaee..
Agar Fauzan tidak penasaran soal Alae, sebelum melanjutkan perjalanan di tengah guyuran hujan, saya memberi sedikit penjelasan soal Alae kepada siswa kelas 3 SMPN 21 Makassar ini. Alae adalah salawat nabi. Teriakan itu setelah para imam mengucapkan kalimah “Allah humma ina,ta banna wa apoanna wa alatatika inna ya karim 3×. Salatujamia sunnatutarawi rahima kumullah, lailahaìlallah huwahdahu lasarikala lahul mulkuwalahulhamdu yuhi wayumitu wahualakullisàin kadir. Kemudian dilanjutkan secara bersama-sama jamaah “ Allah hummasali wasalim àlasaidìna maoulana muhammad. Allah hummasali wasallim alaeeeeee. Nah, kata Alaeee ini dipertegas anak-anak di masjid Baiturahman dengan tekanan suara agak tinggi. Teriakan ini biasanya membuat jamaah yang diluar desa tersebut kaget.
Kami melanjutkan perjalanan. Tiba di tanjakan menuju tanjakan Jalur Karai Atas (Jakarta), saya bertanya pada beberapa pemuda tangguh. Mereka menyarankan saya memilih jalan bawah atau ke Amahai. Alasan mereka jalur “Jakarta” kurang aman, apalagi di tengah malam. Tiba di Masohi, jarum jam menunjukan pukul 23.30 WIT!! (bersambung—tulisan 1 Mudik di Maluku (1) : Jalur “Jakarta” ke Haya, Gemetar di Hatu Mari)
)
din pattisahusiwa