Ku tau kau dari temanku
Tergerak hati untuk menemuimu
Buta matamu, kusta tubuhmu
Tak pudarkan semangatmu
Dengan tongkatmu dampingi
Maida setiamu
Sarung dan topi ciri khasmu
Sejauh pandangan keliling pulaumu
Benteng pasir putih jaga lautmu…..
Penggalan lagu berjudul “Daeng Abu Berlabuh” ciptaan AKBP M Hidayat,SH, Sik,MH (Kapolres Pangkep) dan Bripka Adiyanto Kurniawan ini memberi makna, betapa perhatian jajaran kepolisian terhadap sosok Daeng Abu dan Maida-istrinya begitu besar. Betapa tidak, sekalipun pasangan suami istri ini buta dan menderita penyakit kusta, namun keduanya mampu melahirkan berbagai inovasi, sekaligus menjadi inspirator bagi manusia lain. Salah satunya, melestarikan penyu di Cangke—salah satu pulau di kabupaten penghasil ikan bandeng itu.
Pangkep tidak hanya dikenal karena wisata kulinernya. Namun, kabupaten yang dipimpin Syamsuddin Hamid dan Syahban Samana ini memiliki berbagai obyek wisata eksotis. Ada wisata pegunungan, daratan, hingga wisata bahari yang tersebar di pulau-pulau supermonde, Sulawesi Selatan ini. Jika Anda berkesempatan ke sana, dipastikan akan kembali lagi.
Selain sebagai obyek wisata, potensi alam pulau ini menjadi daya tarik. Awalnya, pulau ini hanya dihuni suami istri yang kini berusia renta—80-an tahun. Sekalipun demikian, buktinya keduanya menjadikan Cangke, wilayah Kecamatan Liukang Tupabbiring ini, sebagai pulau wisata yang layak dikunjungi.
Kapolres Pangkep, AKBP M Hidayat mengakui, keberadaan Daeng Abu menjaga kelesatrian alam membuatnya terketuk hati. Daeng Abu pun menjadi inspirator bagi kesatuan yang dipimpinnya.
“Orang cacat saja bisa melestarikan alam. Mengapa kita yang normal tidak? Karena itu, ayo, mari kita menjaga alam. Kita menemukenali-nya. Kita belajar, betapa tuhan telah menurunkan nikmatnya. Tentunya, jika alam dan isinya terjaga, tidak akan punah. Dengan demikian, anak cucu kita kelak dapat memanfaatkan dengan baik,” tutur mantan Kapolres Kepulauan Selayar ini.
Pulau Cangke ini, satu dari sekian pulau yang memiliki nilai histroris. Sebelumnya, pulau ini kurang dilirik. Tetapi, saat AKBP Muh.Hidayat dan jajarannya, bersama Pemerintah Daerah (Pemkab) Pangkep, mengunjunginya, maka pulau ini kemudian menjadi destinasi wisata bahari. Pelancong menggunakan pulau ini untuk melepas lelah, sekaligus menikmati keindahan alam yang mengagumkan. Untuk menarik wisatawan ke pulau ini, Kapolres bersama Pemkab Pangkep membuat penangkaran telur penyu.
Perjalanan ke pulau ini menggunakan perahu Jolloro—sejenis perahu tradisional masyarakat Bugis-Makassar. Ditempuh 1-3 jam, tergantung cuaca dan kondisi alamnya dari dermaga Biring Kassi. Saat perjalanan, mata dimanjakan dengan laut yang membiru. Sesekali, terlihat nelayan tradisional mencari ikan. Terlihat pula jejeran pulau –pulau kecil, menambah eksotis perjalanan wisata Anda.
Pulau ini tidak terlalu luas. Hanya seluas lapangan bola. Tetapi jangan kaget saat menginjakkan kaki di sini. Hamparan pasir putihnya, dingin dan sejuk. Desiran angin sepoi-sepoi, seolah mengucap selamat datang di sela- sela pohon mangrove.
Keindahan laut juga menjadi ‘bonus’ bertandang di pulau ini. Anda bisa membawa alat snorkling dan memanjakan mata dengan pesona bawah laut. Gugusan terumbu karang yang masih terjaga dengan berbagai jenis ikan kecil hingga besar, membuat pengunjung tidak mau meninggalkan pulau ini.
Nilai historisnya tidak bisa terlepas sosok suami istri yang sudah uzur, Dg Abu dan Dg Maidah. Keduanya hijrah ke pulau ini sejak 1972, atau 44 tahun silam. Sekalipun dengan keterbatasan fisik, namun mampu mendatangkan sejumlah Bupati Pangkep dan pejabat Muspida.
Dahulu, suami-istri ini mengidap kusta yang dianggap sebagai kutukan, sehingga warga mengusir keduanya diusir. Mereka meninggalkan kampung dan terdampar di pulau Cangke. Didinding rumahnya, terlihat beberapa piagam penghargaan, serta foto-foto yang terpasang, baik dari pemerintah maupun dari NGO.
Dg Abu dan Istrinya memiliki seorang anak laki-laki, dan tujuh cucu. Bahkan sudah bercicit. Tetapi, semunya tinggal di Pulau Pala. Keduanya sering diajak anak dan cucunya tinggal bersama, namun ditolak. Padahal di pulau lainnya terdapat sekitar 80 KK. Penghuninya termasuk anak cucu Dg Abu. Soal makan dan air, selalu disupply anak dan cucunya. Bila terdesak, dia menyalakan api sebagai tanda, logistik menipis.
Meninggalkan pulau Cangke dengan cerita sepasang suami istri itu membawa kesan tersendiri saat ke pulau ini. Pasir putih, pohon-pohon yang rindang, alam bawah laut yang indah serta kisah Dg Abu dan istri melengkapi perjalanan yang akan terus melekat di benak….kisah selanjutnya tentang pulau Cangke ini bisa dibaca di majalah Inspirasi edisi April 2016..