Jepara tidak saja dikenal, karena sosok Rajen Ajeng Kartini yang memproklamirkan kebebasan perempuan Indonesia.  Namun, kabupaten di Jawa Tengah ini juga memiliki keunggulan, utamanya sebagai kota ukiran dan penghasil furniture. Ketenarannya membumi, bukan saja di Indonesia, melainkan dunia.  Tak heran, banyak lahir pengusaha  furniture  andal.  Ali Shodikin, salah satunya. Sekalipun orangtuanya petani, namun lelaki  kelahiran 38 tahun silam ini pun sukses di dunia mebel.ali-1

Ali Shodikin tumbuh dalam lingkungan pengrajin kayu. Ketertarikan di dunia mebel membuatnya memilih memperdalam ilmu desain di Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta. Sayang, lantaran keterbatasan biaya, dia terpaksa putus kuliah dan kembali ke kampung halamannya.

Lantaran krisis, banyak pengusaha furnitur di Jepara bangkrut. Ali merantau ke Jakarta. Dia bekerja di bidang yang sama, yakni produsen furnitur. Tak seperti produsen furnitur di Jepara yang menggunakan kayu solid sebagai bahan baku, produsen furnitur di Jakarta memadukan antara kayu solid dan triplek. Disinilah, dia belajar berbagai material pembuat mebel.

Bahkan, mulai berbisnis. Secara tak sengaja, dia mendapatkan pesanan membuat pintu rumah tinggal. Dia puas dengan hasil kerjanya. Konsumen tadi menambah pesanan berupa furnitur pengisi kantor dan rumah tinggalnya. Sejak itulah, pesanan lain terus berdatangan.

Untuk menggarap berbagai pesanan, Ali semula meminjam peralatan milik kakaknya. Ketika usaha sang kakak bangkrut, dia membeli semua peralatan tersebut seharga Rp13 juta. Dengan bekal peralatan itu, dia memberanikan diri sewa tempat untuk produksi.

Setelah memiliki bengkel sendiri pada 2002, Ali makin serius menggeluti usahanya. Dia mulai mengambil order dari perusahaan furnitur di Jepara. Tak hanya furnitur, Ali menerima kontrak pembuatan lantai kayu (flooring) dari sebuah pabrik di Solo. Dia menerima menerima order-order tersebut supaya karyawan tetap bekerja.

Disini, Ali belajar material pembuat mebel, sekaligus mulai berbisnis. Secara tak sengaja, dia mendapatkan pesanan membuat pintu rumah. Puas dengan hasil kerjanya, konsumen  menambah pesanan furnitur pengisi kantor dan rumah tinggal.

Sebagai penambah modal, dia  sempat merantau ke Pulau Seram, Maluku. Di sana, mendapat tawaran dari pemerintah daerah untuk membina pemuda agar bisa mengolah kayu dengan baik. Setiap dua bulan, dia kembali ke kampung halamannya, sehingga dapat memantau usahanya.

Hingga tahun 2006, Ali berkenalan dengan seorang eksportir. Dari  situ dia mendapat pesanan furnitur outdoor. Order ini menantangnya. Karena tak ada pembayaran uang muka, seperti pesanan lainnya.

Dia bekerjasama dengan pengrajin atau pemasok yang terlebih dahulu dikenalnya sebagai solusi ketiadaan uang muka. Ali memberi harga lebih tinggi ketimbang pemesan lainnya. Setidaknya, ada sembilan pemasok yang membantunya.  Akhirnya, order pertama sebanyak enam kontainer menuai sukses.

Kerjasama itu terus berlanjut dari tahun ke tahun. Jumlahnya pun bertambah. Dari 6 kontainer, menjadi 10 kontainer, hingga 24 kontainer dalam satu musim. Bahkan, tahun 2009-2010 pernah mengekspor hingga 43 kontainer.

Memang, saat menerima pesanan, suami Yuni Fatciah ini merasa kurang tenang. Pasalnya, tak sedikit pengusaha seperti dirinya bangkrut karena tak menerima pembayaran. Belajar dari berbagai pengalaman, Ali  berpikir mencari celah lain.

Dia pun berniat memperbesar pasar  furnitur indoor ini, sehingga memilih menjual furnitur dengan model-model berbeda. Ali sekaligus menawarkan desain furnitur bagi klien. Alhasil, bukan lagi menawarkan per jenis perabot, Caraka Creasindo, nama perusahaan Ali, menawarkan solusi furnitur sesuai dengan kebutuhan konsumen. Misalnya, untuk mengisi ruang lobi sebuah hotel, apa saja yang diperlukan supaya terlihat menarik.

Akhir 2011, dia memulai konsep ini, sekaligus mulai mengurangi pengiriman untuk garden furniture. Bahkan tetap mengirim untuk pasar outdoor,  sesuai dengan kemampuan keuangan dan kenyamanannya. Pengiriman produk outdoor saat ini ditujukan ke Eropa, Timur Tengah, dan Kanada.

Sebaliknya, Ali terus menggenjot pesanan dengan konsep baru, yang berfokus pada pasar lokal, yakni hotel-hotel dan restoran. Kini, jumlah pesanan furnitur indoor dan outdor sudah mulai berimbang. Ali pun yakin, bisnisnya akan terus berkembang sesuai dengan target yang telah dia tetapkan. Dia merasa lebih senang dan tenang dengan bisnisnya yang kini mempekerjakan 60 orang.

Sementara itu, sebagai bentuk sarana untuk menunjukkan potensi Indonesia di dunia Internasional, Indonesia International Furniture and Craft Fair (IFFINA) dan Mozaik Indonesia tahun ini menyasar 3.500 buyer. Bahkan, hingga seminggu sebelum pameran ini diresmikan, tercatat sudah terdaftar 1978 buyer dari 87 negara.

Ketua Umum Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (ASMINDO), Taufik Gani, bahkan menargetkan transaksi pada pameran kali ini sebesar USD 700 juta. Taufik juga memaparkan bahwa ASMINDO menyadari, industri furniture juga membutuhkan inovasi dari para desainer, dan desainer membutuhkan platform untuk menyalurkan ide dan berkolaborasi dalam rangka menjangkau pasarnya.

Tahun lalu, demikian Taufik Gani,  realisasi transaksi penjualan dari pameran ini sekitar USD 600 juta. Saya yakin target USD 700 juta pada pameran kali ini akan tercapai. Pasalnya, kami telah melakukan evaluasi atau penilaian terhadap perusahaan-perusahaan yang akan mengikuti pameran sehingga produk furniture yang akan dipamerkan oleh masing-masing peserta berbeda-beda dan memiliki keunikan tersendiri. Maka, di tahun 2016 ini kehadiran Furniture Indonesia dilengkapi dengan Mozaik Indonesia sebagai sarana untuk menampilkan inspirasi ide serta tren furniture lokal terbaru yang layak tampil di pasar Internasional.  (bs-din)

 

TINGGALKAN PESAN

Please enter your comment!
Please enter your name here