Indonesia kaya khazanah budaya. Bangsa ini juga memiliki ratusan suku yang tersebar dari Sabang sampai Maroke. Suku-suku ini tinggal dan membentuk peradaban besar, hingga bertahan sampai saat ini. Selainsuku-suku yang terdaftar, konon ada juga suku gaib, dengan sejumlah legenda. Kepercayaan dan mitos setiap cerita memiliki kekayaan. Kadang tampak, kadang menghilang begitu saja, hingga menjadi misteri, meski kebenarannya juga kerap diperdebatkan. Suku Bati di pulau Seram, Maluku, salah satunya.
Pulau Seram menyimpan misteri tentang sebuah kelompok makhluk misterius bernama Bati. Warga di kawasan itu begitu takut dengan Bati, lantaran mereka kerap menculik anak-anak untuk disantap. Makhluk ini memiliki tinggi sekitar 1,6 meter dan memiliki sayap sangat lebar berwarna hitam. Sekilas, Bati mirip sekali dengan manusia kelelawar yang terbang di angkasa.
Karena itu, cerita di pulau ini, sesuai dengan namanya. Seram! Pulau ini dikenal dengan misteri makhluk hidup misterius. Badannya seperti manusia dan memiliki sayap. Kebiasaan mereka menculik anak kecil di malam hari untuk dijadikan makan malamnya. Namun ini hanyalah cerita yang melegenda di pulau Ibu ini. Tidak ada bukti fisik yang menunjukkan bahwa, mereka pernah hidup.
Kisah tentang Suku Bati mendadak jadi isu global di masa lalu lantaran ada orang asing bernama Karl Shunker menulisnya menjadi sebuah artikel. Warga Pulau Seram di masa lalu percaya kalau Suku Bati yang mirip kelelawar ini hidup di gua-gua di puncak gunung.
Dari cerita mulut ke mulut dan diturunkan dari generasi ke generasi tentang manusia terbang, layaknya burung. Selain mampu menyeberangi lautan dalam hitungan menit, juga dapat membawa terbang dan menghilangkan orang dengan pantangan tak menyebutkan nama tuhan. Mereka membawa aroma mistik yang kian menakutkan.
Namun benarkah sosok suku supranatural yang mendiami pedalaman Pulau Seram itu seperti yang diceritakan? Ditengah misteriusnya suku Bati, salah satu akademisi Maluku, Pieter Jacob Pelupessy penasaran. Dia mendedikasikan dirinya mencari kebenaran kisah mistik itu.
Pieter menjalani penelitian tentang suku Bati, selama 23 tahun (1985-2008) membawanya pada sebuah jawaban. Perjalanan menempuh lautan dan perbukitan membuatnya ingin mencari tahu kebenaran orang Bati. Penuturan yang melegenda itu sempat membuat para tua-tua adat yang mendiami desa-desa adat di Maluku, segan bertemu suku ini.
Tentu saja, lewat pendekatan kultural, Pieter mampu mematahkan anggapan negatif itu lewat studi komparatifnya. Dalam bukunya Esurium Orang Bati (Kekal Press, Bogor, 2013), dosen pascasarjana Universitas Pattimura, Ambon, itu mencoba memberikan perspektif baru. Buku setebal 427 halaman itu, Pieter mencoba menghadirkan persoalan sosial dan kearifan lokal yang ada dalam tatanan kehidupan orang Bati.
Secara peradaban, dalam hal teknologi, memang orang Bati jauh tertinggal, dibandingkan daerah lain di sekitar pulau-pulau di Maluku. Namun, ada yang menarik. Orang Bati masih menjaga tradisi nenek moyang dan mitologi-mitologi sebagai jati diri. Kebiasaan hidup bergandeng tangan dengan suku-suku lainnya. Sayang, acap kali nama Seram dianggap angker dan menakutkan oleh masyarakat luar.
Penelitian Pieter ditanggapi dingin Abas Sopamena,SH. Menurutnya, jika benar orang Bati mampu menghilang atau terbang, mereka tidak bakal memperlihatkan keunggulan itu kepada masyarakat luar, termasuk peneliti.
Sekalipun belum mengetahui persis benar-tidaknya orang terbang, namun Abbas Sopamena mengakui, ilmu semacam itu ada. Yang ia ketahui, adalah bagaimana orang-orang dulu mampu berpindah dari satu pulau ke pulau lainnya, dalam waktu sekejap, tetapi bukan dengan terbang.
Ibrahim Bauw, warga Seram dikonfirmasi Inspirasi mengemukakan, suku Bati mendiami Bati Lusi, Bati Kampung, dan lainnya di Desa Kian Darat dan Kilmoi, Kecamatan Seram Timur. Lokasi mereka disebut dengan istilah Tutup Tolu, yang berarti Tiga Tungku.
Menurut penuturan, demikian Ibrahim Bauw, asal orang Bati dari Cina. “Kabarnya, saat itu, kapal yang ditumpangi mereka karam disekitaran SBT. Mereka kemudian menetap di pegunungan. Kebiasaan orang Bati akan keluar rumah saat hujan rintik-rintik, dan menjelang magrib. Mereka juga jalan dengan cara menunduk,” tuturnya, seraya menambahkan, orang Bati juga biasanya belanja di pasar kampung besar.
Kelebihan orang Bati, mereka tiba-tiba bisa menghilang. Juga bisa menarik pulau untuk melangkah ke pulau lainnya dalam waktu sekejap. Sedangkan rumah-rumah mereka, seperti rumah orang primitif yang terbuat dari atap rumbia. Sekalipun demikian, saat ini di Bati juga ada sekolah.
Sekitar akhir tahun 1960-an, enam warga Siri Sori Islam, Kecamatan Saparua dalam perjalanan ke Ambon mengalami musibah di tengah laut, lantaran keganasan alam saat itu. Akibatnya, ke-enam orang ini hilang. Menghilangnya mereka memunculkan berbagai dugaan. Ada yang menyebut, mereka diangkat oleh orang terbang ke Bati. Mengapa? Karena, satu diantara ke-enamnya mengetahui bahasa orang Bati, sehingga meminta bantuan untuk diselamatkan.
Buktinya, saat MTQ di Geser, sekitar tahun 1970-an, seorang keluarga melihat dengan mata kepala sendiri, jika keluarganya yang hilang tersebut ada dikeramain orang. Tetapi, saat didekati dia tiba-tiba menghilang. Usai MTQ, ia menceriterakan kejadian aneh tersebut.
Penulis yang saat itu bersama tetangga di kompleks Obyek, bersila mendengar penuturan tersebut. Tapi, ditengah-tengah cerita, tiba-tiba ada lemparan batu dari luar pas kena kaca lemari. Anehnya, daun kaca besar itu tidak berhamburan, melainkan hanya terdapat lubang berukuran batu. Kami pun berdiam. Dan berbagai kejadian aneh lainnya. Pertanyaannya, apakah benar mereka ini diselamatkan orang Bati? Ataukah ada hal lain?
Kisah Orang Bati ini kemudian mendapat perhatian Internasional, setelah Karl Shuker menuangkan kisahnya dalam bukunya “Is Batman alive and well and living on the island of seram”. Baginya, si manusia mesterius ini sering dikaitkan dengan Mothman (manusia bersayap di Amerika). (din-bs)
Gambar:ilustrasi