
Ketenaran Jepara sebagai kota ukiran dan penghasil furniture tidak disangkal lagi. Bahkan, mendunia. Tak heran, dari daerah kelahiran tokoh emansipasi perempuan, Raden Ajeng Kartini itu lahir pengusaha furniture andal. Sebut saja, Ali Shodikin. Sekalipun orangtuanya petani, namun lelaki kelahiran 37 tahun silam ini pun tertarik di dunia mebel.
Semula, Ali Shodikin memutuskan memperdalam ilmu desain, melalui kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta. Haya saja, lantaran keterbatasan biaya, berhenti kuliah dan kembali ke kampung halamannya. Jepara. Disana dia bekerja sebagai juru gambar.
Lantaran krisis, banyak pengusaha furnitur di Jepara bangkrut. Ali, sapaannya merantau ke Jakarta dan bekerja di bidang yang sama, yakni produsen furnitur. Tak seperti produsen furnitur di Jepara yang menggunakan kayu solid sebagai bahan baku, produsen furnitur di Jakarta memadukan antara kayu solid dan triplek.
Disini, Ali belajar material pembuat mebel, sekaligus mulai berbisnis. Secara tak sengaja, dia mendapatkan pesanan membuat pintu rumah. Puas dengan hasil kerjanya, konsumen menambah pesanan furnitur pengisi kantor dan rumah tinggal.
Untuk menggarap berbagai pesanan itu, pria kelahiran Jepara, 6 Juni 1978 ini meminjam peralatan milik kakaknya. Ketika usaha kakaknya bangkrut, dia membeli semua peralatan seharga Rp 13 juta. Setelah memiliki bengkel sendiri pada 2002, Ali serius menggeluti bisnisnya. Dia berani mengambil order dari perusahaan furnitur di Jepara. Termasuk menerima kontrak pembuatan lantai kayu dari pabrik di Solo.
Sebagai penambah modal, dia sempat merantau ke Pulau Seram, Maluku. Di sana, mendapat tawaran dari pemerintah daerah untuk membina pemuda agar bisa mengolah kayu dengan baik. Setiap dua bulan, dia kembali ke kampung halamannya, sehingga dapat memantau usahanya.
Hingga tahun 2006, Ali berkenalan dengan seorang eksportir. Dari situ dia mendapat pesanan furnitur outdoor. Order ini menantangnya. Karena tak ada pembayaran uang muka, seperti pesanan lainnya.
Dia bekerjasama dengan pengrajin atau pemasok yang terlebih dahulu dikenalnya sebagai solusi ketiadaan uang muka. Ali memberi harga lebih tinggi ketimbang pemesan lainnya. Setidaknya, ada sembilan pemasok yang membantunya. Akhirnya, order pertama sebanyak enam kontainer menuai sukses.
Kerjasama itu terus berlanjut dari tahun ke tahun. Jumlahnya pun bertambah. Dari 6 kontainer, menjadi 10 kontainer, hingga 24 kontainer dalam satu musim. Bahkan, tahun 2009-2010 pernah mengekspor hingga 43 kontainer.
Memang, saat menerima pesanan, suami Yuni Fatciah ini merasa kurang tenang. Pasalnya, tak sedikit pengusaha seperti dirinya bangkrut karena tak menerima pembayaran. Belajar dari berbagai pengalaman, Ali berpikir mencari celah lain.
Dia pun berniat memperbesar pasar furnitur indoor ini, sehingga memilih menjual furnitur dengan model-model berbeda. Ali sekaligus menawarkan desain furnitur bagi klien. Alhasil, bukan lagi menawarkan per jenis perabot, Caraka Creasindo, nama perusahaan Ali, menawarkan solusi furnitur sesuai dengan kebutuhan konsumen. Misalnya, untuk mengisi ruang lobi sebuah hotel, apa saja yang diperlukan supaya terlihat menarik.
Akhir 2011, dia memulai konsep ini, sekaligus mulai mengurangi pengiriman untuk garden furniture. Bahkan tetap mengirim untuk pasar outdoor, sesuai dengan kemampuan keuangan dan kenyamanannya. Pengiriman produk outdoor saat ini ditujukan ke Eropa, Timur Tengah, dan Kanada.
Sebaliknya, Ali terus menggenjot pesanan dengan konsep baru, yang berfokus pada pasar lokal, yakni hotel-hotel dan restoran. Kini, jumlah pesanan furnitur indoor dan outdor sudah mulai berimbang. Ali pun yakin, bisnisnya akan terus berkembang sesuai dengan target yang telah dia tetapkan. Dia merasa lebih senang dan tenang dengan bisnisnya yang kini mempekerjakan 60 orang. (ozan)