Dahlan Abubakar


Pembacaan eksepsi atau keberatan atas dakwaan Habib Rizieq serta tanggapan dari jaksa yang dibacakan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Selasa (30/3/2021) menimbulkan protes keras dari Jaksa. Pasalnya, salah satu yang menjadi pembahasan ialah diksi yang digunakan di dalam pembacaan eksepsi tersebut terasa “anarkis”.

Dalam eksepsinya Habib Riziek dan kuasa hukumnya menggunakan kata “pandir” dan “dungu” di lembar eksepsinya.
“Jadi di sini jelas, JPU sangat dungu dan pandir, soal Surat keterangan terdaftar (SKT) saja tidak paham, lalu dengan kedunguan dan kepandirannya mencoba sebar hoaks dan fitnah,” kata Habib Rizieq dalam eksepsinya.
Dalam eksepsi pengacara Habib Rizieq, diksi itu juga muncul. Pengacara lebih menyoroti soal rezim yang dianggap menzalimi Habib Rizieq.

“Karena jelas dan terang benderang, konstruksi perkara a quo adalah rangkaian atau bagian dari perbuatan rezim yang zalim, dungu dan pandir,” kata kuasa hukum dalam eksepsi.
Diksi keterbelakangan intelektual pun disebut dalam eksepsi Habib Rizieq yang keberatan FPI yang dikaitkan oleh jaksa dalam dakwaan Habib Rizieq. Habib Rizieq memprotes jaksa yang dalam dakwaan memasukkan 13 pelanggaran hukum yang dilakukan anggota dan simpatisan FPI di berbagai daerah.
“Semestinya jika JPU punya sedikit rasa malu saja, tidak akan mengangkat kasus tersebut dalam dakwaan-nya. Namun karena JPU memang mengalami keterbelakangan intelektual sehingga urat malunya sudah putus,” kata Habib Rizieq.
Menanggapi eksepsi Habib Riziek tersebut, Jaksa menyinggung balik Habib Rizieq dan kuasa hukumnya soal kata-kata tak pantas yang disematkan ke mereka dalam eksepsi. Jaksa tak terima, sebab arti dari kata pandir dalam kamus umum Bahasa Indonesia yakni bodoh dan bebal. Sementara dungu: sangat tumpul otaknya; tidak cerdas; bebal; bodoh.
“Tidaklah seharusnya kata-kata yang tidak terdidik ini diwujudkan, apalagi ditempelkan ke jaksa penuntut umum,” kata jaksa dalam sidang di PN Jakarta Timur, Selasa (30/3) itu.
Jaksa mengatakan, sangat naif apabila kata-kata tersebut disematkan kepada jajaran jaksa. Sebab, rata-rata para jaksa berpendidikan dan juga berpengalaman di bidangnya.
“Sangatlah naif kalau jaksa penuntut umum yang menyidangkan perkara terdakwa dan kawan-kawan dikatakan orang bodoh, bebal, tumpul otaknya dan tidak mengerti. Kami jaksa penuntut umum yang menyidangkan terdakwa adalah orang-orang yang intelektual, yang terdidik dengan berpredikat rata-rata strata 2 dan berpengalaman puluhan tahun di bidangnya,” ucap jaksa.
Jaksa juga menilai kata-kata tersebut menunjukkan sifat yang tak baik yang tak sepantasnya dikeluarkan oleh seorang yang paham agama.
“Sifat demikian menunjukkan akhlak dan moral yang tidak baik,” ucapnya kemudian menambahkan, bahasa yang digunakan tersebut sudah keluar dari kata-kata yang seharusnya digunakan oleh seorang panutan.
“Apalagi diucapkan di sidang terbuka umum yang disiarkan secara
‘live’ dan dapat disaksikan jutaan orang oleh seorang tokoh panutan yang mengaku imam besar dengan kata-kata biadab tidak beradab, keterbelakangan intelektual, zalim, pandir, dungu, dan lain-lain,” tutup jaksa.
Itulah berita media daring mengenai eksepsi jalan eksepsi Habib Riziek dan pengacaranya dalam sidang di Pengadilan Negeri Timur, Selasa (30’3’2021) tersebut.

Penzaliman Verbal

Beperkara di sidang pengadilan adalah adu dan pertarungan argumentasi dan narasi. Argumentasi mencakup kemampuan memanfaatkan landasan juridis dalam bentuk menyetir undang-undang dan pasal-pasannya serta segala macam peraturan yang terkait dengan kasus tersebut. Juga berkaitan dengan bukti-bukti yang diajukan dan analogi-analogi yang digunakan oleh para pihak yang bertikai guna meyakinkan hakim.
Pertarungan narasi adalah bagaimana memenangkan wacana yang dimunculkan dalam “menangkis” setiap serangan lawan. Yang tidak kalah sengitnya adalah bagaimana setiap pihak yang berseteru mampu berdalih dan berkelit dengan menggunakan pasal-pasal tertentu. Padahal para jaksa dan juga pengacara memperoleh teori ilmu hukum yang sama dari lembaga pendidikan. Pertanyaan kemudian muncul mengapa dalam praktiknya penerapan pasal-pasal undang-undang tertentu yang dikenakan pada satu objek berbeda dari kedua pihak. Di sinilah muncul kelihaian setiap pihak memanfaatkan celah-celah hukum yang menguntungkan pihaknya dan melemahkan pihak lain.
Pertarungan wacana pun terjadi. Setiap pihak bersikukuh dengan pendapat hukumnya masing-masing, meskipun berlandaskan pada pasal yang boleh jadi sama. Untung saja, saat sekarang tidak ada pihak yang terjebak dalam istilah yang bertindak sebagai “pokrol bambu”, yakni pembela perkara (dalam pengadilan) yang bukan tamatan sekolah tinggi, tidak terdaftar secara resmi.
Pokrol bambu ini hanya dikenal tempo sulu, sekarang, rata-rata pengacara sudah lepasan perguruan tinggi hukum. Yang membedakan adalah apakah gelar yang mereka peroleh itu melalui pendidikan yang wajar dan standar ataukah instan. Kita masih ingat, banyak lembaga pendidikan yang tidak terakreditasi menawarkan gelar, sehingga muncul ijazah palsu.
Salah satu senjata yang digunakan dalam pertarungan narasi adalah bahasa. Sebagaimana di dalam dunia jurnalistik, bahasa merupakan senjata dan kata adalah peluru. Ketika kita salah memilih bahasa dan pelurunya, dapat dibayangkan tersakitinya orang yang dikenai peluru yang dilepaskan oleh bahasa itu.
Saya melihat, fenomena inilah yang terjadi dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Timur tersebut. Secara umum dilihat dari eksepsi dan tanggapan Jaksa atas eksepsi tersebut telah melahirkan apa yang disebut penzaliman verbal oleh satu pihak. Penggunaan diksi “pandir, dungu,” dan frasa “keterbelakangan intelektual;” merupakan anarkisme verbal yang dialamatkan kepada salah satu pihak.
Kita masih ingat, “Words are sharper than swords”, kata-kata kadangkala lebih tajam daripada pedang. Pengaruh bahasa juga memaksakan pandangan konseptual seseorang karena secara tidak langsung akan mengevaluasi realitas berdasarkan bahasa yang dimiliki dan digunakan. Namun dalam kasus penggunaan diksi di sidang tersebut sarat dengan penghukuman pihak lain bersenjatakan bahasa, khususnya diksi atau kata. Padahal, suatu pihak dapat menggunakan eufemisme yang lebih santun, tetapi cukup menyakitkan. Kita harus ingat, memukul dengan kayu akan jauh lebih membekas jika menggunakan cemeti.
Jika kita masih ingat dengan idiom “bahasa menunjukkan bangsa”, itu bermakna, bahasa mengidentifikasikan jati diri seseorang. Ada yang mengatakan, seseorang hanya akan dipercaya dan dipegang dari kata-katanya, maka di sini bermakna bahwa bahasa atau kata mencerminkan diri pribadi seseorang.
“Pikiran menjadi kata. Kata menjadi tindakan. Tindakan menjadi kebiasaan. Kebiasaan menjadi karakter. Karakter menjadikan kita sebagai diri kita yang sekarang,” kata A.Agiel Josep dalam salah satu bukunya berjudul “Rahasia di Balik Kata-Kata”.
Pilihan diksi yang diungkapkan di dalam sidang tersebut menjadi kontroversi karena diucapkan oleh seseorang yang oleh banyak orang sebagai panutan. Diksi yang digunakan tersebut menjadi kontradiktif dengan ketokohan seseorang, sehingga terjadi “counter attack” (serangan balik) yang dilakukan oleh Jaksa dengan mengembalikan ucapan terdakwa dalam sidang tersebut. Saya kira, ketika suatu pihak merasa kurang nyaman dan tercederai dengan diksi seperti ini boleh jadi dapat bersentuhan dengan pasal yang berkaitan dengan ujaran kebencian dan menganggap rendah orang lain. Terserah kepada para ahli hukum menafsirkannya. (Penulis, Tokoh Pers versi Dewan Pers )

BAGIKAN
Berita sebelumyaSat Reskrim Bantaeng Tangkap Pelaku Prostitusi Online
Berita berikutnyaM.Yusran Lalogau : Sejak SMP “Jadi Bupati” Pangkep
Wartawan kriminal dan politik harian Pedoman Rakyat Ujungpandang dan sejumlah harian di Kota Daeng Makassar, seperti Ujungpandang Ekspres (grup Fajar) dan Tempo. Saat ini menjadi pemimpin umum, pemimpin perusahaan, dan penanggungjawab majalah Inspirasi dan Website Inspirasimakassar.com. Sarjana pertanian yang juga Ketua Umum Senat Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (STIP) Al-Gazali--kini Universitas Islam Makassar ini menyelesaikan pendidikan SD di tanah kelahirannya Siri Sori Islam Saparua, SMP Negeri 2 Ambon, dan SPP-SPMA Negeri Ambon. Aktif di sejumlah organisasi baik intra maupun ekstra kampus. Di organisasi kedaerahan, bungsu dari tujuh bersaudara pasangan H Yahya Pattisahusiwa dan Hj.Saadia Tuhepaly ini beristrikan Ama Kaplale,SPT,MM dan memiliki dua orang anak masing-masing Syasa Diarani Yahma Pattisahusiwa dan Muh Fauzan Fahriyah Pattisahusiwa. Pernah diamanahkan sebagai Ketua Ikatan Pemuda Pelajar Siri Sori Islam (IPPSSI) Makassar. Kini, Humas Kerukunan Warga Islam Maluku (KWIM) Pusat Makassar dan Wakil Sekjen Kerukunan Keluarga Maluku (KKM) Makassar.

TINGGALKAN PESAN

Please enter your comment!
Please enter your name here