Oleh : M. Ridha  Rasyid

SESUATU yang hampir mirip atau ada kaitan kejadiannya serta hal yang bersesuaian dan serupa, baik dalam proses hingga hasilnya. Bila itu terjadi. Saat mana ada “persekongkolan” untuk maksud menguntungkan diri atau kelompok di atas kekuasaan yang sedang dalam genggamannya adalah korupsi.

Dalam kata lain, bahwa korupsi itu ada karena adanya kekuasaan. Hampir jarang ditemukan korupsi tanpa kekuasaan. Contoh sederhana, seorang yang merasa diri kuat dan telah teruji keberaniannya, lalu ada pihak yang mengakui dan bahkan mengagumi “keperkasaan” itu mengikutinya.

Dengan adanya pengikut, dia bisa membangun “kolaborasi” dalam suatu tindakan “mengintimidasi” pihak lainnya. Artinya, tidak ada suatu perbuatan korupsi dilakukan secara “mandiri” atau sendiri. Itu namanya maling kalau hanya bekerja sendiri. Olehnya, korupsi dan kekuasaan  selalu “bergandengan” atau bersamaan. Di institusi mana saja, baik itu pemerintah maupun swasta  dapat terjadi.

Bagaimana bisa terjadi?

Pada pokoknya, korupsi bisa terjadi bila, pertama, sistem yang berjalan membuka peluang adanya celah yang dapat “dimodifikasi” sedemikian rupa serta itu menjadi pintu masuk, kedua, organisasi yang tidak berjalan secara baik. Manajemen organisasi/institusi  yang “amburadul” merupakan sarana untuk memaknai bahwa kinerja orang orang yang ada di dalamnya bisa “mempreteli” aturan yang ada, ketiga, minimnya keterbukaan dalam pengambilan keputusan dan menjalankan keputusan itu.

Selalu ada ruang untuk bernegosiasi dengan para pihak yang terlibat di dalamnya, keempat, pengawasan yang lemah dalam seluruh tingkat yang diberi kewenangan untuk itu, termasuk sejak awal perencanaan desain hingga evaluasi, kelima, rekruitmen untuk mengisi suatu jabatan, baik jabatan publik maupun privat dibumbui  cara cara yang tidak kredibel  atau bahkan dibiayai cukong.

Kekuasaan yang diperoleh dengan cara transaksional selalu ada upaya untuk menyelewengkannya. Sebabnya tentu saja, tidak ada satu pihak pun yang mengeluarkan dana fasilitas tanpa mengharapkan imbalan lebih besar.

Sama halnya, tatkala seseorang berani maju dalam memperebutkan suatu jabatan tanpa membuat kalkulasi  untung rugi. Artinya, besaran dana yang dikeluarkan telah diperhitungkan dengan berapa banyak yang dapat diperoleh untuk “menyeimbangkan” pemasukan dan pengeluaran serta tentu saja keuntungan yang dihasilkan selama kekuasaan itu ada ditangannya.

Sebab itu, korupsi selalu menjadi bagian yang hampir pasti terjadi dengan jabatan yang diduduki, bila unsur unsur yang disebutkan di atas terpenuhi. Kalaupun  ada yang tidak “terendus” secara hukum, namun itu bisa dibuktikan.

Paling tidak pelakunya akan merasakan sekaligus mengakui dalam hati kecilnya bahwa telah melakukan itu. Dulu, ada adagium korupsi sulit untuk dibuktikan, terlebih jika tidak ada bukti materil yang terlihat. Atau hanya yang kena pada level pelaksana di lapangan. Sementara orang yang menjadi “otak” dari sebab terjadinya korupsi tidak “tersentuh” oleh regulasi yang ada atau penegakan hukum yang lemah saat itu.

Namun, sekarang, dengan kecanggihan teknologi penyadapan serta alat untuk membuktikan suatu pelanggaran hukum terjadi semakin canggih, sehingga sinyalisasi korupsi dapat diungkap.

Mungkinkah Korupsi Sirna?

Pertanyaan ini tidaklah mudah untuk diberi jawaban. Tidak saja dari aspek perangkat regulasi yang diperlukan, tetapi juga terlalu banyak pihak yang harus terlibat untuk bersama sama menyusun suatu sistem yang “super canggih”.

Mengapa kita lebih awal harus membenahi sistem? Sistem lah yang mencerminkan suatu institusi baik atau buruk. Institusi tidaklah bermakna apa apa bila tidak ada sistem di dalamnya. Dengan sistem yang baik pula akan membentuk orang menjadi baik. Sistem yang buruk akan menghasilkan orang buruk atau bahkan keburukan “berjamaah” Oleh karena mau atau tidak, terpaksa ataupun rela harus menaati dan mengikuti sistem itu.

Kita tidak bisa lagi terpaku pada pemahaman lama bahwa betapa pun sistem itu baik jikalau orangnya yang melaksanakan itu buruk tetap akan jadi buruk. Demikian pula sebaliknya, orang baik akan tetap menghasilkan hal baik meskipun sistemnya buruk sekalipun. 

Dalam konstelasi berfikir yang rasional, bahwa suatu sistem meliputi seluruh jaringan kompartemen diatur sedemikian rupa agar bisa berjalan sesempurna  mungkin — walaupun kesempurnaan itu masih jauh  — sehingga perangkat yang tersedia untuk  menjalankan sistem sesuai norma dan nilai yang melingkupinya.

Bahwa dengan sistem, semua anasir yang ada dalam suatu institusi, organisasi maupun suatu negara telah mendapatkan porsi kewenangan, fokus tugas yang akan dilaksanakan dan telah diprediksi hasil yang akan dicapai. Jadi, sistem adalah kunci dari semua elemen yang ada ditata sedemikian rapi dan tersusun sesuai hierarkhi kerja yang akan ditunaikan.

Ketika telah hadir sistem yang baik, ini tentu saja telah melalui analisis dan kajian mendalam serta daya jangkauan ke depan, maka pernik pernik kemungkinan adanya celah yang dapat disalahgunakan ataupun diselewengkan dapat dikenali  secara dini.

Konklusinya, sistem yang diterapkan merupakan “perwajahan” orang orang atau kekuasaan yang ada dalam suatu institusi, organisasi dan juga negara. Maka, ketika korupsi itu marak terjadi, sesungguhnya itulah cermin dari sistem yang ada itu. Apakah orangnya yang salah, tentu tidak. Selama orang itu melihat ada ruang yang terbuka untuk terjadinya a buse of power, niscaya akan terjadi penyimpangan.  Dengan sistem yang baik dan komprehensif, korupsi dapat dicegah.

Efektifkah Penindakan?

Hampir semua lembaga hukum yang diberi kewenangan untuk melakukan penindakan atas pelanggaran hukum, tidak memberi efektivitas yang luas. Efek jera yang diharapkan bisa tercipta dan menjadi kesadaran kolektif semua komponen institusi yang terbuka peluang melakukan suatu tindak  pelanggaran hukum, hanyalah simbolis kesadaran semu. Bukan mencegah apatahlagi menangkal  kemungkinan terjadinya pelanggaran hukum.

Sebagaimana kita sadari bersama, bahwa hukum itu dibuat untuk menindak suatu perbuatan pelanggaran, tapi bukan mendisiplinkan orang agar tidak melakukan perbuatan yang menyimpang atau bahkan kejahatan yang terkendali.

Hadirnya hukum itu sendiri sebagai bentuk antisipasi  bilamana terjadi perbuatan sewenang wenang  atau melampaui dari bingkai dari suatu perbuatan yang diasumsikan bukan merupakan pelanggaran hukum. Lagi pula, jangkauan  personalia yang menjalankan aturan itu sangat terbatas serta tidak mampu melakukan pengawasan dalam rentang waktu yang lama, sehingga pelanggaran bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Bahkan di dalam institusi hukum itu sendiri tidak tertutup kemungkinan terjadinya pelanggaran hukum.

Oleh karenanya, korupsi tidak saja perlu didekati secara hukum dalam memberikan tindakan, tetapi jauh lebih penting adalah lembaga hukum memberi edukasi, contoh dan sosialisasi terus menerus akan pentingnya integritas dan loyalitas kepada perbuatan yang tidak melanggar aturan. Caranya? Kembali lagi pada perlunya menciptakan suatu sistem yang baik dan paripurna. Kata kuncinya korupsi identik dengan kekuasaan. (Penulis, Praktis dan Pemerhati Pemerintahan).

BAGIKAN
Berita sebelumyaBupati dan Wakil Bupati Soppeng Dilantik
Berita berikutnyaGUBERNUR TERMUDA
Wartawan kriminal dan politik harian Pedoman Rakyat Ujungpandang dan sejumlah harian di Kota Daeng Makassar, seperti Ujungpandang Ekspres (grup Fajar) dan Tempo. Saat ini menjadi pemimpin umum, pemimpin perusahaan, dan penanggungjawab majalah Inspirasi dan Website Inspirasimakassar.com. Sarjana pertanian yang juga Ketua Umum Senat Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (STIP) Al-Gazali--kini Universitas Islam Makassar ini menyelesaikan pendidikan SD di tanah kelahirannya Siri Sori Islam Saparua, SMP Negeri 2 Ambon, dan SPP-SPMA Negeri Ambon. Aktif di sejumlah organisasi baik intra maupun ekstra kampus. Di organisasi kedaerahan, bungsu dari tujuh bersaudara pasangan H Yahya Pattisahusiwa dan Hj.Saadia Tuhepaly ini beristrikan Ama Kaplale,SPT,MM dan memiliki dua orang anak masing-masing Syasa Diarani Yahma Pattisahusiwa dan Muh Fauzan Fahriyah Pattisahusiwa. Pernah diamanahkan sebagai Ketua Ikatan Pemuda Pelajar Siri Sori Islam (IPPSSI) Makassar. Kini, Humas Kerukunan Warga Islam Maluku (KWIM) Pusat Makassar dan Wakil Sekjen Kerukunan Keluarga Maluku (KKM) Makassar.

TINGGALKAN PESAN

Please enter your comment!
Please enter your name here