
Makassar, Inspirasimakassar.com:
Virus mematikan Covid-19, bukan saja mengakibatkan hilangnya nyawa manusia semata, namun berdampak pada berbagai sisi kehidupan, termasuk sektor kehutanan. Imbasnya, negara-negara utama tujuan ekspor kayu olahan Indonesia, misalnya Jepang, Amerika, China, Korea, hingga Uni Eropa terdampak.
Khususnya di Sulawesi Selatan, dampak dari virus asal Wuhan di Thiongkok menyebabkan berakibat pada anjloknya industri kayu. Akibatnya, pendapatan menurun antara 30 persen hingga 70 persen.
Pernyataan tersebut mengemuka pada jumpa media dan diskusi yang digelar JURnaL Celebes, di Cafe Baca, Jalan Adyaksa Makassar, Jumat, 30 April 2021, diselingi buka puasa bersama.
Direktur Jurnal Celebes, Drs.Mustam Arief, didampingi Ferdhiyadi N (koordinator pemantau, sekaligus moderator) pada jumpa media bertema “Anjloknya Industri Kayu di Sulawesi Selatan pada masa pandemik dan upaya penegakkan hukum bidang kehutanan” itu mengakui, pembalakan liar di Sulawesi Selatan justru meningkat di masa pandemi.
“JURnaL Celebes malah menemukan kejahatan pembalakan liar (illegal logging) naik 70 persen sejak wabah corona mulai awal 2020 hingga awal 2021,” ujarnya.
JURnaL Celebes menilai, Demikian demikian Mustam Arief, illegal logging menimbulkan problem yang dilematis yang bisa menimbulkan anomali dalam tata kelola kehutanan berkelanjutan dan pengembangan idustri di bidang kehutanan.
Akibatnya, industri kayu atau usaha di bidang kehutanan anjlok. Penyebabnya, misalnya kekurangan bahan baku permintaan pembeli yang menurun. Sebaliknya, kejahatan pembalakan liar meningkat kemungkinan memanfaatkan pembatasan kegiatan pemantauan aparat di masa pandemi, terkait kebijakan pembatasan aktivitas.
Menurutnya, situasi ini menimbulkan akumulasi dua masalah yang dilematis dalam upaya membangun tata kelola kehutanan berkelanjutan dan industri bidang kehutanan. Pandemi berdampak pada anjloknya usaha kayu. Sementara di sisi lain pandemi memicu meningkatnya kejahatan pembalakan liar.
Pada pemantauan tahap pertama, JURnaL Celebes menemukan indikasi kejahatan pembalakan liar dilakukan pihak perusahaan, cukong-cukong kayu yang memanfaatkan masyarakat lokal di sekitar hutan, yang sebagian mungkin terdesak kebutuhan ekonomi di masa pandemi.
Ketika tindakan pembalakan liar ini ditindak, yang tertangkap justru hanya pelaku-pelaku lapangan masyarakat lokal, dan para cukong kerap tidak tersentuh proses hukum. Jika dikorelasikan hasil pemantauan tahap kedua dengan anjloknya industri kayu di masa pandemi, JURnaL Celebes menduga ada indikasi praktik ilegal dalam peredaran kayu bahan baku industri.

Kemungkinan lain, jelas mantan wartawan Harian Pedoman Rakyat Ujungpandang ini, setidaknya ada monopoli (penguasaan) bahan baku oleh perusahaan tertentu. Dalam tahap ini bukan lagi skala Sulawesi Selatan, tetapi dalam jaringan peredaran kayu antar-provinsi hulu dan hilir.
Khusus industri kecil di Sulawesi Selatan umumnya menggunakan bahan baku kayu dari hutan rakyat dan hutan tanaman industri di daerah ini. Hampir sebagian besar kayu dipasok dari wilayah Luwu Raya, terutama dari Luwu Timur. Sebagian industri juga memasok dari Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah. Sementara dari luar Sulawesi di antaranya dari Kalimantan, Papua, Maluku dan Maluku Utara.
Pemantauan untuk bidang industri dilakukan JURnaL Celebes bersama tim pemantau di delapan kabupaten di Sulawesi Selatan. Pemantauan tahap kedua dalam program penguatan tata kelola kehutanan dan kolaborasi parapihak dukungan Program FAO-EU FLEGT ini memantau 25 industri kayu di Sulawesi Selatan mulai Februari-April 2021.
Di Kota Makassar, pemantauan dilakukan di tujuh industri terdiri atas empat Perseroan Terbatas (PT), satu Commanditaire Vennontschap (CV) dan dua Usaha Dagang (UD). Selebihnya di 10 kabupaten sembilan di antaranya dalam bentuk UD dan satu PT di Luwu Timur.
Di Kota Makassar, pemantauan dilakukan pada tujuh industri terdiri atas empat Perseroan Terbatas (PT), satu Commanditaire Vennontschap (CV) dan dua Usaha Dagang (UD). Selebihnya di 10 kabupaten sembilan di antaranya dalam bentuk UD dan satu PT di Luwu Timur.
Di Makassar satu industri besar bangkrut, lainnya menutup sementara, ada yang terancam tutup. Sebagian unit usaha beroperasi berdasarkan stok bahan baku yang tersedia. Ada industri yang masih bertahan yang masih bisa memperoleh pasokan bahan baku dan bisa menjual produk meski produk dan pendapatan menurun. Di Luwu Timur, PT Berdaya Hijau, sebuah perusahaan konsorsium kelompok tani hutan, dampingan Sulawesi Communty Foundation (SCF) justru tidak bisa memenuhi pesanan yang meningkat dari Jawa di masa pandemi karena industri pengolahan kayu ini kesulitan modal.
Sementara industri kecil yang dipantau, hampir semuanya anjlok. Dengan berbagai siasat dilakukan untuk tetap bertahan di masa pandemi. Hanya ada satu atau dua industri yang bisa menerima pasokan bahan baku dan punya modal untuk bisa tetap beroperasi, meskipun pendapatannya berkurang.
Dampak pandemi sangat dirasakan oleh industri kecil. Selain kekurangan pasokan bahan baku, permintaan kayu atau produk kayu juga anjlok. Sebagian industri kecil mengandalkan permintaan pasokan kayu atau produk kayu dari proyek-proyek properti. Tetapi di masa pandemi, proyek-proyek bangunan atau perumahan juga berkurang drastis, bahkan di daerah- daerah kabupaten hampir tidak ada pelaksanaan program properti.
Kondisi ini membuat pendapatan industri kayu/kehutanan di Sulawesi Selatan anjlok dari 30- 70 persen. Industri dilematis menghadapi situasi ini terutama terkait dengan karyawan.
Melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) konsekuensinya adalah pembayaran pesangon. Mempertahankan karyawan berat dilakukan ketika perusahaan tidak punya pemasukan keuangan yang memadai.
Industri besar sangat kesulitan menghadapi situasi yang dilematis ini karena secara formal terikat dengan aturan ketenagakerjaan. Salah satu cara yang dilakukan adalah kesepakatan antara karyawan dengan industri untuk mengurangi gaji karyawan.
Sementara industri kecil yang tidak terlalu terikat dengan aturan ketenagakerjaan menyepakati pekerjaan dan gaji disesuaikan dengan adanya intensitas pekerjaan.
Cara ini merupakan strategi penanggulangan dampak pandemi. Karyawan tidak di-PHK tetapi bergiliran kerja dan gaji berdasarkan pesanan.
Akumulasi
anjloknya industri kayu dan meningkatnya pembalakan liar di masa pandemi berdampak langsung pada dua sektor yakni
usaha ekonomi dan upaya penegakkan hukum bidang
kehutanan. Ini bukan hanya terjadi Sulawesi Selatan tetapi kemungkinan terjadi berbagai
daerah di Indonesia.
Anjloknya industri kayu tentu berdampak pada penurunan ekonomi dan berkurang atau hilangnya pendapatan karyawan. Industri menghadapi masalah yang dilematis, mem-PHK karyawan, konsekuensinya membayar pesangon. Sementara industri kehilangan sebagian pendapatan dan ongkos produksi.
Di sektor penegakkan hukum, situasi ini akan terus memicu meningkatnya praktik pembalakan liar dan peredaran kayu ilegal. Kondisi ini juga tentu berpengaruh pada implementasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Dari 25 industri yang dipantau JURnaL Celebes, hanya ada enam industri yang memiliki sertifikat SVLK. Lima industri primer dalam bentuk PT dan satu industri kecil berbentuk UD yang tidak lagi memperpanjang masa berlaku sertifikatnya.
Menjawab kondisi ini, JURnaL Celebes mengusulkan kepada pemerintah untuk melakukan tindakan strategis, tidak sekadar antisipatif dengan insentif bersifat sementara. Industri UMKM (menengah, kecil dan mikro) yang dipantau JURnaL, semuanya tidak memperoleh insentif pemerintah di masa pandemi. Insentif pemerintah dinilai baru menjangkau industri primer yang produksinya diekspor.
Sebaliknya, eksportir menilai insentif untuk industri padat karya dengan memberi keringanan PPh dan iuran rutin, tidak terlalu berdampak karena selain terbatasnya waktu pemberian insentif, juga problem utama adalah menurunnya permintaan pasar luar negeri.
Karena itu, JURnaL Celebes mengharapkan pemerintah harus mengambil langkah strategis untuk memastikan industri kayu terutama industri kecil dan menengah bisa bertahan di masa pandemi terutama kelangsungan hidup tenaga kerja.
JURnaL Celebes juga pemerintah perlu langkah riil untuk tetap tegaknya kepastian hukum dalam pengamanan dan pencegahan kejahatan kehutanan di masa pandemi. Implementasi SVLK perlu terus ditingkatkan karena ini adalah instrumen terbaik di dunia dalam pengelolaan hutan berkelanjutan untuk menekan laju deforestasi. Instrumen yang menjamin perdagangan kayu tidak mengalami hambatan di mancanegara.
Bantuan sertifikasi SVLK bagi industri kecil mesti juga harus ditindaklanjuti dengan memberikan kepastian usaha, keuntungan atau penghargaan. Selama ini SVLK lebih dirasakan manfaatnya oleh industri ekspotir. (din pattisahusiwa)