Penulis bersama Ir. H.Muhammad Thoriq Husler–kini Bupati Luwu Timur, Sulsel

Makassar, Inspirasimakassar.com:

Dua puluh enam tahun berlalu. Pada 27 Januari 2020, saya bertemu Ir. H.Muhammad Thoriq Husler, pria kelahiran Palopo 19 April 1963 yang kini menjabat Bupati Luwu Timur (Lutim). Sebelumnya, dia menjabat Wakil Bupati saat Andi Hatta Marakarma MP menjabat Bupati Lutim periode 2010 – 2015. Catatan ini juga anda bisa peroleh di rubrik “Secangkir Kopi” Majalah Inspirasi, Edisi Januari 2020. Majalah ekslusif setebal 48 halaman yang kini memasuki tahun ke enam kali ini mengangkat laporan utama Tren Bisnis 2020. Semoga bermanfaat…

Saat bertemu, saya menjelaskan bahwa kita pernah bertemu pada tahun 1994 di Timtim, sebelum jajahan Portugis itu melepaskan diri dari Indonesia dalam  jajak pendapat yang curang tahun 1999. Waktu itu, Thoriq Husler yang lulus S-1 Fakultas Pertanian Universitas Pembangunan Nasional   “Veteran” Yogyakarta tahun 1988 menjabat  Sekretaris  Bappeda  Kabupaten Manatuto  Timtim antara tahun 1994 s.d. 1999. Jadi baru saja beliau diangkat sebagai Sekretaris Bappeda  saat rombongan   Keluarga Mahasiswa dan Alumni Penerima Beasiswa Supersemar (KMA PBS) Universitas Hasanuddin melaksanakan Bakti Sosial (Baksos) di provinsi termuda (waktu itu) Indonesia.

Saya masih ingat, beberapa peserta Baksos putri menginap di kediaman Thoriq Husler. Kami yang laki-laki menginap di Kantor Bupati Manatuto yang tentu saja kosong  pada malam hari. Salah satu aula kantor bupati itulah menjadi  tempat menginap kami beberapa hari melaksanakan bakti sosial di Manatuto. Risikonya, setiap pagi harus segera bangun karena para karyawan yang tidak seberapa banyaknya akan berkantor.  

Masih tergiang di ingatan saya, suatu malam suami Dra.Hj. Puspawati yang (kini) sudah memberinya lima anak ini, menjamu kami rombongan Unhas di kediamannya. Waktu itu, saya sama sekali belum maklum kalau yang menjamu itu adalah putra asli Sulsel.

Saat bertemu di Malili usai pelantikan Pengurus KONI Lutim masa bakti 2019-2023, saya juga memberitahu Ketua FKPPI Kab. Lutim, Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Lutim ini bahwa, dalam rombongan terdapat juga Laode M.Syarif, lelaki kelahiran Sulawesi Tenggara  yang  pernah menjabat   Wakil Ketua KPK. 

Saya punya kisah yang cukup mengesankan ketika berkunjung ke Timtim ini. Saat KM Kelimutu mampir di Maumere, kami tujuh orang turun jalan-jalan ke Kota Maumere selama kapal sandar. Ternyata saat kami kembali, kapal sudah renggang dari bibir dermaga. Rombongan yang ketinggalan kapal di Maumere belum sempat jalan-jalan di Kota Dili, ketika acara penerimaan resmi rombongan diselenggarakan oleh Pemprov Timtim.

 Prof. Radi A.Gany, yang ketika itumenjabat Pembantu Rektor I Unhas, mendarat  di Dili siang harinya dan menandangi peserta Bakti  Sosial. Mantan Bupati Wajo ini sekaligus menyerahkan secara resmi  rombongan  Baksos Unhas ini kepada Pemprov Timtim.

Malam harinya, Pak Radi meminta saya menemaninya di hotel. Katanya, takut tidur sendiri. Setelah   berkeliling Kota Dili, termasuk menengok ’’bunker’’ tempat persembunyian Xanana Gusmao yang kelak    menjadi Presiden Timor Leste dan lalu memilih menjadi PM Timor Leste, di pinggir selatan Kota Dili  dan makan siang keesokan harinya, Pak Radi terbang kembali ke Makassar melalui Denpasar.

Pengalaman di Timtim termasuk yang menarik buat  saya. Ketika tim Baksos bertugas di Manatuto, ke mana pun pergi melaksanakan kegiatan, rombongan selalu dikawal sedikitnya seorang petugas preman bersenjatakan  pistol terselip di pinggangnya. Soalnya, Timtim belum aman betul. Biasa, kata petugas  itu memberitahu saya, siang jadi kawan, malam jadi lawan. Susah ditebak.

Pernah, seminggu sebelum rombongan Unhas tiba, sebuah truk penuh tentara yang bergerak ke   Baucau diberondong senjata api di sebelah timur Manatuto. Jalan memang aspal licin, jadi truk bermuatan  sarat tentara itu mengebut kendaraannya. Lolos.

Suatu hari, tim Baksos harus mengantar beras dua truk tentara ke sebuah desa yang jaraknya kira-kira setengah jam perjalanan. Nama desa yang didatangi, Sananain. Dua truk ini masing-masing dikawal dua personel tentara bersenjata lengkap. Keduanya duduk di bak belakang  truk. Seorang duduk di antara perbatasan bak truk dengan kepala truk menghadap ke depan dengan senjata siap tembak. Seorang lainnya, berdiri menghadap ke belakang dengan senjata siap di tangan.

 Saya bersama salah seorang peserta Baksos yang asal Timtim, Lucio, duduk di depan, di samping sopir. Dua truk bergerak beriringan. Alat komunikasi yang digunakan belum ada telepon. Hanya komunikasi melalui handy talky  antara tempat berangkat dengan lokasi tujuan yang ada. Di kendaraan tidak ada alat komunikasi sama sekali. Pihak petugas keamanan di tujuan (Sananain) hanya tahu, truk akan tiba dalam jangka waktu setengah jam kemudian.

 Ternyata di luar scenario, di tengah perjalanan, truk yang  saya  tumpangi terkendala. Salah satu bannya bocor. Apa boleh buat, harus berhenti, sementara truk yang di depan berjalan terus. Malah salah satu truk lain sempat berpapasan dengan truk yang saya tumpangi. Seorang teman juga melompat pulang ke atas truk yang akan balik ke Manatuto.

 Hari menjelang magrib, truk akhirnya bergerak  juga. Tiba di pinggir sungai, beberapa pria setengah telanjang dada, melompat naik ke truk bagian belakang.Teman saya yang asli Timtim, Lucio, hendak melompat turun, tetapi segera membatalkan niatnya, karena truk segera bergerak lagi.

 ’’Mengapa Anda mau melompat turun?,’’ tanya saya yang mulai curiga. ’’Saya kira, yang  naik tadi   orang  tak dikenal. Bisa-bisa saja mereka itu adalah gerombolan klandestein yang sering menjarah kiriman melalui truk seperti ini,’’ jawabnya.

 Setelah melintasi satu sungai kering, truk menerobos masuk hutan lagi. Saat melintas satu sungai kering berikutnya, tiba-tiba satu regu tentara  bersenjata muncul dari balik pohon di pinggir kali. Langsung menghentikan truk. Mereka berlompatan naik ke truk. Saya deg-degan juga. Jangan-jangan mereka ini musuh. Sopir tenang saja. Rupanya dia kenal, temannya. Hingga di tujuan, tidak terjadi apa-apa.

 Rombongan tiba dan disambut Komandan Keamanan yang bertugas di Sananain. Ya, salah seorang personel tentara juga. Malam itu, tim kecil  saya yang hanya dua orang, harus mengadakan pertemuan dengan warga setempat. Ini penting  agar mereka memahami maksud kedatangan dua orang dari kota dengan truk tentara itu.

 Dalam bahasa Tetun (bahasa masyarakat setempat), Lucio yang dari Timor Timur, (sempat menjabat  Rektor Institut Kopi Dili) menjelaskan bahwa dia adalah rombongan mahasiswa dari Universitas Hasanuddin di Sulawesi Selatan yang membawa tiga ton beras untuk masyarakat Sananain. Ini pertanda hubungan baik antara masyarakat Sulsel dengan Timor Timur. Di Makassar banyak anak Timtim belajar.

 ’’Kami semua mahasiswa. Tidak ada hubungan dengan politik,’’ kata  Lucio  yang  pernah menjadi salah  seorang  anggota DPRD  Timor Timur pascajajak pendapat tahun 1999.

 Usai bertemu masyarakat setempat dengan bantuan penerangan  lampu petromaks, saya dan Lucio   diantar tentara yang Posko di tempat itu bermalam di salah satu rumah penduduk. Tempat tidurnya satu bale- bale  bambu yang memuat sekitar empat orang. Tempat tidur berdindingkan gedek (gamacca,   bahasa Makassar). Dinding berupa ayaman dari bambu yang dibelah kecil. Atapnya terbuat dari daun nipah. 

Suhu dingin pegunungan di tanah kering terasa benar malam itu bagaikan sampai ke sum-sum. Beruntung, jaket pembagian ada penutup kepalanya. Jadi, tertolong juga dari serangan rasa dingin   pegunungan yang menyengat.

 ’’Saya di tengah, Anda di pinggir,’’ kata saya kepada Lucio saat hendak membaringkan badan. Keesokan   hari, masih pagi benar, truk tentara meluncur turun kembali ke Manatuto. Saya masih penasaran dengan peristiwa tentara yang tiba-tiba melompat naik di sungai kering kedua pada malam harinya.

  Baru saya tahu, kalau satu regu tentara itu dikerahkan untuk mencari truk yang  kami  tumpangi yang   terlambat tiba di tujuan. Soalnya, dalam laporan komunikasi HT, truk akan tiba pada setengah jam   berikutnya setelah meninggalkan titik start, lokasi pemberangkatan.

 Rupanya, tidak ada laporan ke Posko pemberangkatan bahwa di tengah jalan truk itu pecah ban.   Waktu keterlambatan tiba di tujuan dianggap dan diprediksi telah terjadi sesuatu yang darurat terhadap truk pembawa  beras  tersebut. Makanya, tentara satu regu itu dikirim untuk mencari truk kami yang   terlambat  tiba itu. Saya baru tahu kalau perjalanan itu cukup berbahaya.

Dari Manatuto kami kemudian mengunjungi Liquisa, sebuah kota kecil di pantai utara   Timtim, sebelah   barat Kota Dili. Kehidupan ekonomi di kota kecil ini cukup menggeliat. Kota ini dilewati dari Mota’ain, perbatasan Indonesia-Timor Leste sekarang, jika kendaraan mengambil jalur utara.   

 Selesai melaksanakan kegiatan di Liquisa, saya memutuskan pulang lebih dulu ke NTT. Tim masih kembali ke Kota Dili. Saya jalan sendiri kembali ke Makassar, yang lainnya pulang menyusul.

Dari Dili,  saya  naik bus umum ke Pante Makassar, Kota kecil di Kabupaten Ambeno yang selalu saja   membuat  penasaran. Pante Makassar, kota yang terkurung oleh wilayah RI, pascajajak pendapat dan Timor Leste berdiri sebagai satu negara sendiri.

Kabarnya banyak orang Makassar di situ. Dulu, daerah itu menjadi tempat persinggahan para pelayar Makassar yang ke Australia untuk menangkap teripang menggunakan perahu Padewakang  itu. Di situlah mereka biasa mengisi air dan perbekalan. Makanya, disebut Pante Makassar.

 Kabupaten Ambeno ini dulu dikelilingi  wilayah NTT, kini kembali menjadi wilayah Timor Leste   yang   dikelilingi  wilayah  RI. Daerah itu terkurung. Jadi, kalau mau jalan darat ke Timtim dari Pante Makassar sekarang, harus masuk wilayah RI dulu. Itu berarti harus menggunakan paspor, karena melintasi batas negara lain. Entahlah kalau ada perjanjian tradisional antara kabupaten itu dengan kabupaten tetangganya.

Kota ini terletak  di pantai utaraTimor Leste, 281 km di sebelah barat  Dili, ibu kota negara itu. Penduduknya 4.730 orang (tahun 2006). Pante Makassar adalah ibu kota enclave (daerah kantong)  Oecussi-Ambeno. Kota  kecil  ini terdiri atas tanah datar, gambaran wilayah permukiman  kebanyakan   orang   Bugis-Makassar yang menjadi ‘’nenek moyang’’ penduduk di sana.

Nama “Pante Makasar,” menunjuk kepada perdagangan di masa lampau yang terjadi dengan  Makassar  di  Sulawesi. Di kalangan masyarakat setempat, Pante Makassar juga dikenal sebagai   “Oecussi,” yang secara harfiah berarti “meriam air”. Nama ini dulunya nama salah satu dari dua kerajaan. Yang lainnya adalah Ambeno. Pada masa colonial Portugis, kota ini juga dikenal dengan nama Vila Taveiro.

Lifau, di pinggiran kota yang sekarang, dulu  tempat orang-orang Portugis pertama kali mendarat di Timor dan merupakan ibu kota pertama Timor Portugis. Kota ini tetap menjadi ibu kota hingga 1767, dan setelah itu dipindahkan ke Dili,  karena terus-menerus mendapat serangan Belanda. Karena  jaraknya jauh dari daerah-daerah lain di Timor Leste, Oecussi-Ambeno, dan khususnya Pante Makassar,   menjadi wilayah pertama yang diduduki oleh Indonesia pada 29 November 1975.

Setelah semalam di Pante Makassar, pagi-pagi saya menuju Kupang. Selama beberapa hari saya    tinggal di kediaman H.M.Sattar Taba, yang kala itu menjabat Direktur Utama PT Semen Kupang. Tidak sampai seminggu,  saya  balik ke Makassar, membawa pulang sejumlah kenangan  dari Timor  Timur, termasuk  pengalaman konyol  ketinggalan KM Kelimutu di Pelabuhan Maumere….(H.M.Dahlan Abubakar/pimpinan redaksi majalah inspirasi*).   

BAGIKAN
Berita sebelumyaPenjabat Walikota Makassar Tinjau Pulau Lae lae
Berita berikutnyaCuma 45 Menit Antar Uje Jadi Ketua KONI Lutra
Wartawan kriminal dan politik harian Pedoman Rakyat Ujungpandang dan sejumlah harian di Kota Daeng Makassar, seperti Ujungpandang Ekspres (grup Fajar) dan Tempo. Saat ini menjadi pemimpin umum, pemimpin perusahaan, dan penanggungjawab majalah Inspirasi dan Website Inspirasimakassar.com. Sarjana pertanian yang juga Ketua Umum Senat Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (STIP) Al-Gazali--kini Universitas Islam Makassar ini menyelesaikan pendidikan SD di tanah kelahirannya Siri Sori Islam Saparua, SMP Negeri 2 Ambon, dan SPP-SPMA Negeri Ambon. Aktif di sejumlah organisasi baik intra maupun ekstra kampus. Di organisasi kedaerahan, bungsu dari tujuh bersaudara pasangan H Yahya Pattisahusiwa dan Hj.Saadia Tuhepaly ini beristrikan Ama Kaplale,SPT,MM dan memiliki dua orang anak masing-masing Syasa Diarani Yahma Pattisahusiwa dan Muh Fauzan Fahriyah Pattisahusiwa. Pernah diamanahkan sebagai Ketua Ikatan Pemuda Pelajar Siri Sori Islam (IPPSSI) Makassar. Kini, Humas Kerukunan Warga Islam Maluku (KWIM) Pusat Makassar dan Wakil Sekjen Kerukunan Keluarga Maluku (KKM) Makassar.

TINGGALKAN PESAN

Please enter your comment!
Please enter your name here