
Memang seperti itulah dakwah
Dakwah adalah cinta
Dan cinta akan meminta semuanya dari dirimu
Sampai pikiranmu, sampai perhatianmu
Berjalan, duduk, dan tidurmu
Bahkan di tengah lelapmu,isi mimpimu pun tentang dakwah
Tentang ummat yang kau cintai
(Rahman Abdullah)
Dr.H.Abubakar Wasahua,MH, layak disebut perantau pemberani di tanah Bugis Makassar. Sebutan itu patut dialamatkan kepada satu satunya putera Tuan Guru Haji Rafi Wasahua ini. Mengapa? Ya, karena dalam rangkaian cerita tentang kehidupan lelaki “kabaresi” berdarah Ambon, kelahiran Desa Kabauw, Kecamatan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, 8 April 1951 ini, lantaran berani di masanya. Dia melakoni kehidupan di masa penerapan azas tunggal, pancasila. Sesekali dia menantang, garang, dan keberaniannya memilih jalan yang tidak biasa.
Ketika hendak menaiki tangga kapal barang merantau ke Makassar, demi meraih mimpinya mendapatkan pendidikan yang layak, ayahnya memberi wejangan, sambil mengusap kepalanya. Sang ayah berkata, Abu—sapaan Abubakar Wasahua.


“Kamu anak tercinta bapak. Bapak cinta kamu. Tetapi, bapak lebih cinta perjuanganmu membela Islam, ketika kamu di Makassar. Meski kamu anak satu satunya anak laki laki, namun bapak ikhlaskan kamu berjuang untuk kepentingan ummat. Selamat berjuang anakku. Tetapi, jika dalam perjuangan, kamu harus mati, maka ayah sudah ikhlas menerima kabar kematianmu. Yang penting, kamu mati dalam perjuangan menegakkan Islam,” urai sang ayah, seperti diutarakan Abu dalam pengantar bedah buku Abubakar Wasahua “Menebar Cinta di Jalan Dakwah, di Hotel Alauddin Makassar, Kamis, 8 April 2021—dirangkaikan peringatan hari jadi ke-60 tahun, suami dari Dra Hj Nurhayati Mahmud dan ayah satu orang anak ini.
Menurutnya, apa yang dinarasikan lewat buku setebal 227 halaman ini, tentunya bukan instan. Melainkan, sebuah perjuangan dakwah yang diukir semenjak merantau di Kota Daeng ini. Sebenarnya, banyak kisah yang ingin ditulis sang editor, Bachtiar Adnan Kusuma. Hanya saja, ada keterbatasan waktu. Sekalipun demikian, dia tetap mencoba memproyeksikan amanah orang tua, bagaimana gerakan dakwah hendak dibumikan di bumi Allah ini.

Pilihan berdakwah, tentunya tidak mudah. Tidak lain karena, dakwah itu adalah aktivitas para nabi. Tidak sembarangan orang terpilih yang mau dan sanggup mengembannya. Tetapi, Abu memilih untuk menitih jalan itu.
Pilihannya menyusuri jalan dakwah, lantaran ikhlas menjadi pelayan para ulama, perhatian kepada ummat. Tetapi, tentunya berbagai resiko harus dia tanggung. Termasuk berlama lama di kampus IAIN Alauddin—kini UIN, hingga sempat berurusan dengan pihak keamanan, lantaran dikira hendak berbuat keonaran.
Mengapa Abu Wasahua memilih jalan dakwah? Tidak lain karena, dirinya mengedepankan kata tentang pembuktian cinta. Makanya, sekalipun berbagai tantangan di jalan dakwah yang dijalaninya, tidak sedikitpun menyurutkan langkahnya.
Dia meyakini, didalam dakwah, ada derita, tetapi itu wajar. Bila dakwah ada lelah, itu sudah biasa. Makanya, tekadnya begitu kuat. Ia bahkan akan terus berada di jalan dakwah. Sampai nanti. Sampai mati. Inilah jalan terindah yang dipilih.


Tidak salah, jika Prof.Dr. Arismunandar, M.Pd (Ketua Orwil ICMI Sulsel), bersama Prof Dr H Syaifuddin, MM, M.Si (IKA BKPRMI Sulsel), dan Syaiful Kasim SE.AKT, MM, CA (Ketua Umum PII Sulsel) yang dipercayakan membedah, mengupas tuntas, atau meriview buku Menebar Cinta di Jalan Dakwah itu, sama sama mengakui, Abu Wasahua adalah pemberani. Bedah buku ini dipandu Herman L.
Setidaknya, demikian Arismunandar, sekalipun dia berasal dari desa di Maluku, tetapi pernah menjadi anggota DPRD Sulsel selama tiga periode. Dan, satu periode menjadi anggota DPR-RI, Dapil III Sulsel (Komisi III VIII – Agama, Sosial, dan Pemberdayaan Perempuan). Padahal, untuk menjadi anggota dewan terhormat, seseorang tidak saja harus dikenal luas di masyarakat, melainkan memiliki berbagai “amunisi”. Dan, Abu berani untuk itu.
Keberanian lainnya dari seorang Abubakar Wasahua, urai mantan Rektor Universitas Negeri Makassar (UNM) ini, karena dia mampu mempersunting perempuan Bugis sebagai pendamping hidupnya. Apalagi, perempuan yang kini adalah ibu dari anak-anaknya, berdarah bangsawan dari tanah Luwu.

Arismunandar malah menantang editor untuk melanjutkan sisi lain dari sosok Abubakar Wasahua yang sesungguhnya. Sekalipun demikian, kisah dan perjalanan Abubakar yang terangkum dalam buku Menebar Cinta di Jalan Dakwah ini, setidaknya menjadi warisan akademik yang bisa dibaca generasi saat ini. Apalagi, betapa banyak tokoh besar tidak miliki dokumen dokumennya. Termasuk tokoh kecil yang memiliki sumbangan sumbangan penting, tetapi tidak pernah ditulis, sehingga tidak pernah menjadi bagian dari perjalanan sejarah.
Memperkuat buah pemikiran Prof.Arismunandar, Prof. Dr.H.Syaifuddin mengawali pernyataannya dengan mengatakan, mengenal Abubakar Wasahua ketika gencar gencarnya penolakan azas tunggal. “Saya saat itu, adalah salah seorang staf ketua di Badko HMI Indonesia timur. Sementara Abubakar, salah satu perwakilan HMI Komisariat. Dan, saat itu, ada kegiatan pembaiatan calon ketua cabang. Sosok Abubakar memang sangat luar biasa,” tambahnya.


Prof Syaifuddin sependapat dengan Prof.Arsimunandar. Malah, sebenarnya bukan pemberani saja, tetapi punya perhatian sangat besar di bidang dakwah. Memang pada masa masa awal, berbagai komponen keagamaan kepingin menciptakan suasana dakwah, dimana tidak ada sekat sekatnya.
Point kedua dari buku Menebar Cinta di Jalan Dakwah ini, Syaifuddin menempatkan Abubakar sebagai tokoh. Biasanya dari teori kepemimpinan, ada namanya teori orang besar. Dan Abubakar bisa disebut orang besar itu.
Alasannya, umumnya tokoh besar itu lahir dari orang orang besar. Tetapi, Abubakar tidak. Dia anak petani dari Kabauw, yang memberanikan diri ke Makassar untuk berjuang, sekalipun dengan berbagai keterbatasan. Kemudian, dia melejit, hingga masuk dalam pusaran tokoh nasional.

Dalam pandangan Prof Syaifuddin, jika membaca lebih mendalami buku ini, terlihat sangat jelas apa yang ada dalam diri seorang Abubakar Wasahua. Dari sini, Syaifuddin teringat kisah dari tokoh legendaris Jepang, ahli pedang, Miyamoto Musashi. Miyamoto Musashi, atau Niten Doraku, adalah filsuf, penulis, hingga ahli pedang hebat awal zaman Edo. Namanya melegenda, karena dia pengguna dua pedang yang terbilang unik pada masa itu. Dia tak terkalahkan dalam 61 duel.
Jika dilihat dari sisi filosofis, baik Miyamoto Musashi, maupun Abubakar Wasahua punya kesamaan. “Kalau Miyamoto menata kehidupan dengan titian pedang, maka Pak Abu menata kehidupannya dangan dakwah. Dalam kaitan itu, jika dilihat dari proses yang berkembang dari seorang Abubakar, dia adalah tokoh yang sebenarnya kokoh, organisatoris yang tidak pernah berhenti berbuat. Kemudian politisi. Dia politisi yang ulet. Dia amanah. Tidak banyak orang yang menjadi politisi yang tergoda dengan buaiyan buaiyan dunia. Ini menarik,” ujarnya.

Penyanggah ketiga adalah Sjaiful Kasim SE.Akt., MM, CA. Dia mempertanyakan apakah benar, Abubakar Wasahua adalah seorang damai di medan laga. Persoalannya, Abubakar adalah karakter seorang kader PII. PII itu ditempa dalam konteks mental attitude. Perubahan perilaku. Yang terkadang harus garang. Saking garangnya, Abubakar dan rekan rekannya malah berani berhadapan dengan Jenderal LB Murdani dan kelompoknya di masa penerapan azas tunggal.
Dalam catatan lain, Sjaiful Kasim juga mempertanyakan, apa judul buku ini sudah benar dengan isinya? Karena, setelah dia lacak, damai itu tidak memberikan kombinasi warna dalam buku. Baginya, ada entitas sesi sesi tertentu muncul. Di halaman 32, paragraf terakhir misalnya.

Pada titik terdesak, muncul keberanian Abubakar. Halaman 60 buku ini, Abubakar meyakini, apa yang dia lakukan tidak ada salah. Pasalnya, pada halaman sebelumnya, Abubakar sempat diinterogasi aparat kepolisian, lantaran mendatangkan K.H.Abdullah Wasian—aktivis DDII Jawa Timur untuk mengisi ceramah seputar Kristologi. Rata rata peserta adalah penggiat dakwah, mulai dari masyarakat biasa, hingga akademisi dari Unhas dan UMI.
Kedatangan K.H Abdullah Wasian membuat petaka bagi Abubakar Wasahua. Dia dipanggil ke Poltabes Kota Makassar. Dalam perjalanan ke markas polisi itu, terbayang dibenaknya, bakal dimasukan ke sel. Disiksa. Dan firasat buruk lainnya.
Hanya saja, Abubakar memilih menjawab pertanyaan polisi dengan tegas dan jujur. Sekalipun beberapa pertanyaan menyudutkan dirinya, namun dia tidak gentar. Selalu berusaha membangun kekuatan mental. “Kalau tidak begitu, maka saya terlihat seperti orang lemah dan salah”. Karena dia berkeyakinan, apa yang dilakukannya benar. Siapa yang berani menyalahkan sebuah ikhtiar menyebarkan dakwah?

Di bagian lain Sjaiful Kasim mengemukakan, Abubakar tidak sekadar organisatoris, melainkan adalah Muharrikah (penggerak), makanya sangat gelisah, jika tidak melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi ummat. Makanya, dalam setiap interaksinya dengan kelompok kelompok ummat, dirinya sangat kuat. Dia punya akses. Investasi sosialnya besar, kemudian mengantarkannya ke investasi politik.
Dalam catatan terakhirnya, Sjaiful mengaku, pada intinya Abubakar telah melengkapi dirinya dengan rasa cinta dan kedamaian. “Ini terwujud, karena rasa cinta kepada keimanan, dan benci kepada kekapiran.
Menutup bedah buku Menebar Cinta di Jalan Dakwah, sang editor, Bachtiar Adnan Kusuma menangkis berbagai kritikan. Dia malah menyebut, sudah 25 tahun menekuni penulisan buku, editor.
“Pengalaman kami, sebuah karya buku akan melahirkan dua hal. Ada yang setuju, maupun ada yang tidak setuju. Tetapi, itu sebuah aksioma. Dan kalau tidak terjadi maka seperti itu, mengapa kita harus mendiskusikan,” ujarnya.

Dia mengutip salah satu teori yang dikemukakan pakar poltiik. Teori ini dia pelajari selama 4 tahun di psikologi Unhas. Bahwa sebuah persoalan atau kepentingan akan lahir dari dua kutub. Kutub pertama, ada orang yang mempertahankan terhadap apa yang mereka perjuangkan. Tetapi, pada dimensi lain, ada juga orang yang menutup terhadap apa yang disampaikan. Dengan demikian sebuah kajian buku tidak terlepas dari dua perspektif. Yakni kekuatan dan kelemahan.
Kelemahan untuk tidak menjadikan sebagai sebuah aksioma untuk menjastipikasi karya tulis, ataupun apapun namanya. Biasanya, buku itu ditulis atau diterbitkan terjadi pada dua pendapat.
Rentetatan perjalanan Abubakar seperti ditulis dalam buku ini, maka dia mengutip sebuah teori yang dikemukakan oleh Abraham Maslou, seorang psikolog dari Amarika Serikat. Teori itu jika dialamatkan kepada abubakar wasahua, maka karya buku ini adalah sebuah kebutuhan hirarki. Kebutuhan hirartri itu didalammya disebut kebutuhan sosial. Jadi mengapa interaksi-interaksi abubakar yang dipetakan dalam buku ini.

Fakta fakta yang diceritakan Abubakar kepada editor dan kami juga melakukan studi litarasi. Selain ada beberapa testimoni dari beberapa tokoh. Itu artinya untuk mendapatkan sosok seperti abubakar wasahua, diibaratkan sebuah novel dan ceritanya tidak akan habis, melainkan berepisode. Karean, sebenaranya jika mau menulis Abubakar Wasahua secara utuh, maka jumlahnya bisa mencapai 700 halaman.
Abubakar dalam buku ini mau menjadi tokoh yang abadi dalam sebuah keabadian. Itulah abubakar. Salah satu poin penting, ketika abubakar menceriterakan secara komprehensif bagaimana ketika pertama kali bertemu dan berjanjian dengan pendiri Masyumi, Dr.Muh.Natsir di sekretariat DDI jalan Kramat jati 45 Jakarta. Salah satu pesan Muh Natsir saat itu, “Abu, jadilan engkau seperti seekor ikan. Ikan itu hidup dilaut, tetapi ketika ikan itu kita kunyah, dagingnya tidak menjadi asin. Itulah filosofi yang ingin digambarkan perjalanan dakwah, sosial, politik, ataupun apapun namanya, bagi seoreang Abubakar Wasahua.

Sebenarnya rentetan perjalanan Abubakar, mulai A hingga Z, baik dengan istri tercinta, dan handai tolan, semua telah terpatri dalam buku ini, meski tidak disajikan dengan judul secara tegas.
Sekalipun menggunakan kata kata cinta, namun cinta dalam persepsi, bukan cinta yang generalis. Ini cinta yang spesifik. Bahwa Abubakar ingin menunjukan sebuah identitas. Sebuah pasion. Bahwa, proses perjalanan pergulatan dan kehidupannya tidak bisa lepas dari gerakan dakwah, gerakan politik, dan gerakan sosial.
“ Buku ini dibuat selama 2 tahun. Karena Pak Abu paling teliti. Paham bahasa. Saya malah baru menemukan sosok seorang pendakwah yang sangat teliti. Tetapi yang jelas, yang namanya karya buku, karya tulis, ataupun apapun namanya, pasti tidak lepas dari titik titik kelemahan. Manusia itu tidak lupa dari kesalahan dan kelemahan,” tutup Bachtiar Adnan Kusuma.

Pada halaman 40 dan 41 misalnya, Abu—sapaan akrab Abubakar Wasahua sudah mulai berorganisasi sejak SD hingga SMA. Salah satunya di Pelajar Islam Indonesia (PII). Mengapa? Ya, karena PII sangat berani menyuarakan kepentingan Islam. PII adalah organisasi yang begitu tegas dan tak pernah kompromi menjadikan Islam sebagai azasnya. Bagi kami, Islam itu harga mati. Hidup dengan prinsip seperti itu, pada masa itu, bukan sesuatu yang mudah.
Pemerintahan saat itu masih represif. Tidak memperkenalkan suara suara lain, kecuali ideologi ketetapan negara. Ruang gerak semakin terasa dibatasi. Ketika negara menetapkan aturan untuk menyeragamkan azas, maka semua organisasi masyarakat, tidak boleh ada yang berazas lain, selain pancasila.

Lalu apakah PII menolak azas Pancasila? Sama sekali tidak. Di halaman 42 buku ini terlihat jelas, jika yang ditolak PII adalah usaha menyeragamkan azas semua organisasi. Berbagai argumentasi disiapkan untuk menjawab segala pertanyaan tentang azas tunggal.
Bagi PII, Pancasila adalah idiologi negara. Kami paham, sekaligus menghormatinya. Pancasila adalah vision of state yang boleh ditafsirkan dari kacamata ideologi manapun. Dalam perspektif Islam, dari sila pertama hingga kelima, tidak ada satupun yang bertentangan dengan Islam.
Sekalipun demikian, saat itu, suasana demikian memanas. Gejolak demi gejolak muncul. “Anggota PII jangan terpancing. Harus tetap berpikiran dingin. Sekali sekali jangan pakai emosi, apalagi tindakan yang mengarah pada fisik. Tetap berada pada azas kita, yakni azas Islam,” demikian ketegasan Abubakar Wasahua saat rapat anggota PII ketika itu.
Di halaman 43, paragraf ke-4, salah seorang tokoh , sekaligus aktivis dakwah Sulsel terlihat menyambangi Sekretariat PII. Dia adalah H.M.Yamin Amna. Kedatangannya untuk memberikan semangat untuk tidak mundur selangkahpun. Caranya, memberikan semangat, itupun lucu, namun tetap serius.

“Ini ada dua potong besi,” demikian H.M.Yamin Amna. Panjangnya sekitar 1,5 meter. Satu di antara dua besi itu diberikan kepada Abubakar. Mirip mirip adegan film ketika seorang guru ingin mewariskan senjata pusaka kepada muridnya.
“Abubakar! ini buat kamu. Simpan baik baik ya. Simpan di belakang pintumu. Kalau suatu saat nanti ada orang yang tidak dikenal, lalu menyerobot ke lantai dua kantor ini, maka hantamkan saja orang itu dengan besi ini,” tutur Yamin Amna, sambil memperagakan gaya menghantam.
Ketika bergabung di PII, saat itu yang menjadi ketuanya adalah Syahrir Badaruddin. Salah satu anggota yang dia kenal adalah Ali Muchtar Ngabalin. Ali Ngabalin ketika itu masih kelas 1 SMA. Karena masih yunior, Ali biasanya disuruh buat kopi untuk seniornya. Tetapi, tak disangka posisinya kini menjadi orang dekat Presiden Jokowi.
Menyoal kehadirannya di PII, di halaman 16 buku ini. Abubakar menjadi anggota PII sejak duduk di bangku SMP Negeri 1 Ambon. Baginya, organisasi PII jauh lebih kompleks dan lebih berdinamika dari pada perayaan hari hari besar Islam.

Di SMPN 1 Ambon ada dua rekannya yang dianggap layak saudara yakni, Amir Marasabessy dan Farida Ely. Abubakar Wasahua lulus dengan meraih rangking ketiga terbaik pada tahun 1977. Dia melanjutkan ke SMA Negeri 2 Ambon tanpa tes. Lulus dari SMA 1980, Abubakar membulatkan tekad ke Makassar, untuk kuliah di IAIN Alauddin.
Di Makassar, Abubakar tinggal di rumah H.Burhanuddin di Jalan Maccini Raya—pemilik SMP Bawakaraeng. H.Burhanuddin ini orang Selayar, tetapi punya keluarga di Ambon. Di rumah ini, usai shalat subuh, Abubakar berusaha mencari pekerjaan yang bisa dikerjakan. Misalnya mencuci piring, menyapu, dan tugas tugas lainnya.
Sederet organisasi pun dipercayakan kepadanya. Di antaranya Ketua Kerukunan Keluarga Maluku dan Maluku Utara (KWIM-MU) Sulawesi Selatan, Wakil Ketua I Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Sulsel, Wakil Ketua Dewan Masjid Indonesia, Ketua Umum Persatuan Ummat Islam (PUI) Sulsel), Aktivis HMI dan PII di Sulsel, Sekretaris Umum BKPRMI Sulsel, dan sejumlah jabatan penting lainnya. (din pattisahusiwa-dapat juga dibaca di Majalah Inspirasi edisi April 2021) |