ila, syara, dan Yani
Ambon bukan saja kaya potensi alamnya. Pulau rempah-rempah (cengkeh dan pala) ini juga memiliki potensi wisata kuliner yang mengundang selera makan. Rujak Natsepa salah satunya. Rujak ini berjejer di sepanjang pantai Natsepa. Pantai berpasir putih, lautan yang membiru, serta pepohonan rindang membuat pengunjung begitu lahap menikmati sajian rujak yang disajikan sekitar 50-an warung kecil berangka kayu dan atap seng. Bangunan warung-warung itu persis sama satu dengan yang lain, lengkap dengan spanduk bertuliskan nama penjualnya.
Warung-warung ini tak cuma istimewa, karena rujak yang dijual sedikit berbeda dengan umumnya rujak di daerah lain. Di Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi misalnya, orang-orang sudah akrab dengan rujak buah sebagai kudapan dijual oleh penjual-penjual kaki lima. Namun, di Ambon, rujak buah hanya dijual di tempat-tempat tertentu.
Faradila Bauw bersama adiknya Yani Bauw, dan sepupunya, Sarah Pattis ditemui di Pantai Natsepa mengakui, sengaja meluangkan waktu ke obyek wisata bahari ini sekadar mencicipi rujak.
Menurut Faradilah, setelah mencicipi rujak Natsepa, dia seakan memesan kembali sebagai oleh-oleh. Karena itu, tidaklah heran, jika kebanyakan pengunjung yang baru menginjak kaki di Kota Manise tersebut, selalu memilih berwisata di Natsepa, sekaligus menikmati enaknya rujak. Mengapa mereka memilih rujak Natsepa? Faradila yang juga alumni Sekolah Tinggi Manajemen dan Informatika (STIMIK) Dipanegara Makassar ini mengemukakan, rujak disini rasanya begitu nikmat. Bahkan, tidak ada samanya di daerah lain. Rujak di pantai indah ini boleh dibilang berskala masif jika dibandingkan rujak biasa.
Bayangkan saja, satu genggam kacang tanah goreng diletakkan di atas cobek untuk membuat satu porsi bumbu rujak buah. Kacang ini diulek kasar bersama satu bongkah besar gula aren. Sekadar diketahui, gula aren yang digunakan didatangkan khusus dari Makassar. Itu karena gula Ambon tak cukup baik dan mudah mencair. Bumbu ini kemudian tambah garam, cabai, dan terasi dari Namlea.
Sebenarnya, tutur Ila, sapaan puteri sulung dari Ibrahim Bauw dan Lila Pelupessy ini, guna menambah rasa khas, ditambahkan pula buah asam, tapi yang utuh dan tidak dicampur air. Ini adalah kunci lain yang membedakan rujak Ambon dengan rujak lainnya. Bumbu rujak tak dicampur air sehingga bumbunya lekat dan padat seperti pasta. Karena tak dicampur dengan air, makanya tahan lama, sehingga dijadikan oleh-oleh.

Bagi Sarah Pattis, perbedaan rujak Natsepa dengan rujak daerah lainnya, terletak pada buah pala yang diparut kasar. Kemudian, diulek bersama bumbu lainnya untuk memberi rasa asam. Selain buah pala, biasanya ditambahkan buah lobi-lobi atau tomi-tomi. Jika tidak ada tomi-tomi, bisa digunakan irisan pangkal buah belimbing.

Rasa bumbu ini memang istimewa, apalagi bagi para penyuka kacang tanah. Anda bakal sangat terpuaskan. Legit dengan gumpalan kacang yang sangat terasa dan tak bakal menetes mengotori meja meski dicomot banyak-banyak. Saking banyaknya kacang dan gula aren yang digunakan, bumbu rujak Natsepa tampak seolah lebih banyak ketimbang buah yang disajikan. Rujak ini disajikan di piring kecil berbahan plastik yang sering digunakan sebagai tatakan gelas. Bumbunya ditangkupkan di atas potongan buah.

Setelah bumbu disiapkan, baru giliran buah-buahan diiris-iris. Misalnya buah nenas. Warna nenas di Ambon sedikit beda dengan nenas dari dearth lainnya. Warnanya putih. Nenas ini kemudian dicmpur dengan ketimun, kedondong, bengkoang, papaya, serta mangga. Ada pula ubi jalar yang diiris kecil-kecil. Ubi jalar ini rasanya mirip bengkoang tapi lebih tawar dan kering.

Sementara Yani Bauw, makan rujak di tepi pantai Natsepa sambil melihat berenang, menaiki Banana Boat di laut berair biru muda yang begitu jernih. Sungguh sebuah kenikmatan berlibur yang menyenangkan. Apalagi, harga rujak yang hanya sekitar Rp12.000 perporsi.
Untuk sampai di Natsepa, dari Kota Ambon menggunakan kendaraan roda empat sekitar 25 menit, dengan jarak sekitar 20 km. Dan ingat, ini bukan perjalanan jalan lurus tanpa belok dan tanpa gunung dan lembah. Bukan. Justru karena ada banyak naik turun dengan geografis yang demikian makanya perjalanan nyatanya sekitar 45 menit paling cepat, dari Kota Ambon. Ongkos angkot? Tiga ribu rupiah. Jauh dekat sama saja. Entah kalau supirnya lagi kurang duit mungkin Anda harus membayar 4000-5000 rupiah. (din-bs)

BAGIKAN
Berita sebelumyaRektor UPRI Kunjungi Mahasiswa KKN di Masago Bone
Berita berikutnyaBesok Sore Jokowi Resmikan Jembatan Merah Putih Ambon
Wartawan kriminal dan politik harian Pedoman Rakyat Ujungpandang dan sejumlah harian di Kota Daeng Makassar, seperti Ujungpandang Ekspres (grup Fajar) dan Tempo. Saat ini menjadi pemimpin umum, pemimpin perusahaan, dan penanggungjawab majalah Inspirasi dan Website Inspirasimakassar.com. Sarjana pertanian yang juga Ketua Umum Senat Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (STIP) Al-Gazali--kini Universitas Islam Makassar ini menyelesaikan pendidikan SD di tanah kelahirannya Siri Sori Islam Saparua, SMP Negeri 2 Ambon, dan SPP-SPMA Negeri Ambon. Aktif di sejumlah organisasi baik intra maupun ekstra kampus. Di organisasi kedaerahan, bungsu dari tujuh bersaudara pasangan H Yahya Pattisahusiwa dan Hj.Saadia Tuhepaly ini beristrikan Ama Kaplale,SPT,MM dan memiliki dua orang anak masing-masing Syasa Diarani Yahma Pattisahusiwa dan Muh Fauzan Fahriyah Pattisahusiwa. Pernah diamanahkan sebagai Ketua Ikatan Pemuda Pelajar Siri Sori Islam (IPPSSI) Makassar. Kini, Humas Kerukunan Warga Islam Maluku (KWIM) Pusat Makassar dan Wakil Sekjen Kerukunan Keluarga Maluku (KKM) Makassar.

TINGGALKAN PESAN

Please enter your comment!
Please enter your name here