Sang fajar menyingsing terang
Dari sudut selatan pulau Sulawesi
Dengan gagah berani
Matahari merayu kupu-kupu malang
Yang masih meringkuk dalam kepompong
Bertengger manis di daun lontar
Kepalanya menyumbul
Matanya samar-samar menatap
Nampaknya ia ciut
Dalam genting disekap takut
Hatinya cuak di tanah daeng ini
Sayapnya gemetar
Dicumbu semilir anging mammiri
Sesekali degup darahnya berloncatan
Telinganya mendengar kemunafikan
Hidungnya mencium aroma kebusukan
Raja begal merampas
Membunuh siri na pacce
Dilahap di tengah hiruk pikuk jantung kota
Kedamaian diinjak-injak
Dilumpuhkan kriminalitas
Sang fajar perlahan naik sepertiga
Menjemput batang hari
Kupu-kupu itu berjijnjit lembut
Terbang meliuk-liuk cemas
Menapaki gedung-gedung pencakar langit
Di sana..
Pecahlah dongengan kaum berdasi
Dipenghujung senja
Bayangan kupu-kupu itu menjingga
Terbang menelusuri bibir danau
Yang tak lagi anggun lenggoknya
Bocah kecil tak seriang dulu
Bercengkrama dengan alam
Kini hanya gadget mewah
Menghiasi jemari mungilnya
Kupu-kupu lelah
Bergidik dalam zaman gila
Meronda gelap malam
Ia kaku menjumpai
Diskotik malam menyergap bajingan
Berbau alkohol
Gelap terang laser benderang
Sesekali menyoroti
Pusar dan belahan dada
Wanita penggoda yang mendosa
Musik panas teriak memanggil
Meleburlah mereka
Dalam kawah hitam
“Kupu-kupu malam”
Dubur mereka dibanjiri mani bengis
Seakan tidak malu
Merenggut kesempurnaan kupu-kupu
Mencemari keindahannya
Setelah tertatih bermetamorfosis
Kupu-kupu menangis
Menyaksikan kebringasan dunia
Pantaskah wanita pendosa bergelar kupu-kupu?
Pantaskah sang malam merebut kesempurnaannya?
Pantaskah binatang keji bertopeng manusia?
Ataukah manusia keji bertopeng binatang ?
(Nurfajri-mahasiswa Jurusan PPKn Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar)