
Oleh Mulawarman
Golkar Sulsel terancam ditinggalkan para kader dan konstituennya. Indikasinya, mulai terlihat belakangan ini. Elit Beringin Rindang di Sulsel tidak solid. Perolehan suara di tiap pemilu dan Pilkada turun. Meski telah ditetapkan sebagai Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) I Sulsel terpilih, Taufan Pawe, namun diduga kuat justru menjadi beban dan bagian dari ancaman itu.
Alih-alih memperkuat, DPD baru justru berpotensi menjauhkan harapan dan cita Golkar menjadi partai pemenang. Bila tidak diselamatkan, bukan tidak mungkin partai yang lahir dari rahim Orde Baru ini hanya akan tinggal papan nama di Sulsel.
Tulisan ini akan menjelaskan sejumlah indikator ancaman itu. Dan pentingnya bagi para elitnya tidak lagi terlena dengan romantisme masa lalu, bahwa Golkar pernah jaya. Namun secara rasional, bangun dari mimpinya, memperkuat basis konstituen tradisionalnya.
Dulu Kuning, tapi kini?
Siapa yang tak kenal Golkar di masanya. Partai ini sering disebut telah berurat akar di tanah Indonesia timur. Mengingat setiap Pemilu sejak masa Orde Baru, Golkar selalu jadi nomor satu perolehan suaranya. Dimulai Pemilu 1971. Tak ada kekuatan partai yang mampu menandingi. Puncaknya pada Pemilu 1987, memperoleh 92% suara. Selanjutnya pada Pemilu 1992 meraih 89% suara. Dan naik kembali pada Pemilu 1997 sebesar 91% suara.
Pasca reformasi, perolehan suara Golkar trennya menurun. Sistem multipartai yang dianut Indonesia turut menjadi tantangan penurunan itu, selain tentu saja leadership di tingkat lokal maupun nasional pada partai beringin ini. Pada Pemilu 1999, Golkar di Sulsel meraih 66% suara. Turun lagi pada Pemilu 2004 yang hanya 44%. Pada 2009 juga mengalami penurunan hanya 36%, dan turun lagi pada Pemilu 2014 hanya 20,09%. dan terakhir pada Pemilu 2019 kemarin 23,3%.
Penurunan juga terjadi pada perolehan suara DPRD Sulsel. Pada Pemilu 2014, Golkar hanya meloloskan 18 wakilnya di DPRD (21,18%) dari total 85 kursi. Pada pemilu selanjutnya, juga turun lagi hingga jadi 12 kursi, hanya selisih 1 kursi dengan partai baru, Nasdem. Pada Pemilu 2019 kemarin, Golkar meraih 13 kursi.
Melemahnya kekuatan Golkar juga terjadi pada moment Pilkada. Pada Pilkada serentak 2018, Golkar hanya menang di 6 kabupaten, dengan kekalahan di Pilkada Gubernur. Pada Pilkada serentak kemarin 2020, meski diklaim menang di 7 kabupaten, namun nyatanya bukan menjadi pemenang tunggal. Golkar menang karena ikut koalisi. Yang diusung bukan kader sendiri. Artinya masih jauh diklaim sebagai sebuah prestasi.
Leadership Golkar Sulsel
Selain indikasi menurunnya perolahan dukungan dalam setiap pemilu, yang perlu dikhawatirkan adalah efektivitas organisasi itu sendiri. Ukurannya terletak pada faktor kepemimpinan atau leadersehp.
Saat ini DPD Sulsesl dipimpin oleh Taufan Pawe. Ia ditetapkan berdasarkan SK kepengurusan DPD I Sulsel pada 7 Agustus 2020. Namun, hingga kini legalitasnya masih dipertanyakan oleh sebagian kalangan.
Mengingat sudah hampir 8 bulan belum juga dilantik oleh DPP. Ia bisa saja mengklaim sebagai pemimpin yang sah, nyatanya secara de jure tidak punya kekuatan hukum. Karena bisa saja kepemimpinanya dianulir. Lebih lagi terdengar dari elit DPP Mustafa Radjab dan Fahd A Rafiq yang menyebut akan mem-PLT kan kepemimpinan DPD Sulsel.
Terlepas dari legalitas itu, keberadaan Taufan memang sedari awal diklaim memiliki tantangan tersendiri. Dan ini jadi batu ujian baginya. Sejumlah ujian itu banyak pihak menyebutkan, terkait dengan gaya leadershipnya, kapasitas organisasinya, serta skill komunikasi politiknya yang dinilai banyak pihak memiliki banyak kekurangan.
Sejumlah kekurangan itu menunjukkan keterbatasannya melewati sejumlah ujian politik yang relatif jauh dari kata berhasil. Beberapa dapat disebut, antara lain, pertama lamanya dilantik. Ini jelas menunjukkan adanya masalah dalam legalitas keabsahan kepemimpinannya. Tanpa perlu dijelaskan panjang lebar, fakta politik menunjukkan tanda tanya besar akan kuat dugaan adanya ketidakpuasan leadershipnya dari sejumlah pihak.
Kedua, rendahnya sikap politik untuk mencari pendekatan win win solution dalam membangun partai. Kecenderungan syahwat politik yang terlalu besar untuk membabat habis faksi di Golkar Sulsel, jelas sebuah kekliruan.
Sejarah tak dapat dipungkiri, dimana Golkar besar dan tumbuh dinamis karena kemampuannya beradaptasi dengan beragam faksi di dalamnya. Ia tumbuh subur dan sehat karena ada perbedaan.
Membumihangus faksi tertentu di Golkar Sulsel apakah itu Faksi SYL, NH, atau faksi Amin Syam jelas kontraproduktif. Dan seorang elit yang ingin agar tumbuh satu faksi di Golkar sulsel jelas mengingkari sejarah dan kodrat organisasi sendiri.
The winners take all, jelas bukan kultur politik di negara demokrasi. Di mana yang menang mengambil semua. Terlebih lagi Golkar tumbuh sebagai partai yang moderat dan multikultural. Untuk itu, seharusnya upaya rekonsilisasi menjadi agenda penting DPD Golkar Sulsel.
Kegagalan rekonsiliasi dari banyak faksi ini menjadi pintu masuk sulitnya konsolidasi. Imbasnya boleh jadi lambatnya dilantik menjadi salah satu bagian di dalamnya.
Ketiga, kultur politik golkar adalah besar melalui sistem. Dia bukan karena faktor figur. Ia beda dengan PDI P yang bertumpu pada figur Megawati. Golkar adalah partai sistem dan organsiasi modern. Ia besar karena banyak pihak berkonstribusi dan terbangun kultur komunikasi dan integrasi.
Untuk itulah, efektivitas mesin golkar didukung oleh seluruh elemen, mulai dari level kader, hingga elit dan tentu saja para senior. Tidak bisa dilupakan para senior, meski tidak lagi jabat di struktur.
Menutup ruang komunikasi dengan para pendahulu Golkar Sulsel atau tokoh senior Golkar, jelas langkah salah. Hanya karena ada kekhwatiran, kalah pengaruh. Jelas pikiran yang picik. Namun, bukan sifat seorang negarawan. Padahal konstruksi kemenangan Golkar selama ini dibangun atas hubungan patron-klien, dan elit serta rakyat di bawah. Jelas kultur politik di Sulsel berbeda dengan daerah lain, di mana relasi patron masih sangat kuat.
Maka untuk kemenangan, kiprah para elit golkar atau patronnya yang masih ada tetap masih sangat efektif. Artinya mengandalkan bekerja pada mesin partai pun tidak cukup efektif. Perlu ada agen-agen tunggal yang berfungsi menjual ke publik. Nah disinilah peran salah satunya para senior Golkar. Memutus komunikasi dengan para patron ini jelas kesalahan yang tidak dapat ditolelir bagi prospek kemenangan.
Membangun partai adalah membangun bersama.Tidak perlu ada yang paling berperan. Tidak perlu juga ada narasi-narasi kontraproduktif seperti, bumi hangus faksi, saya tidak takut NH, saya tidak takut SYL, atau lain sebagainya yang bernada provokatif. Sebaliknya yang perlu dibangun adalah komunikasi, rekonsilisasi, konsolidasi dan integrasi.
Bila Tidak, Maka…
Betapapun, bila langkah-langkah ini tidak dijalankan, maka bukan tidak mungkin akan ada Musdalub dan mungkin saja digelar setelah Taufan Pawe lengser dari jabatan Walikota Parepare. Mengingat tidak adanya ruang rekonsiliasi. Betapapun politik golkar sangat dinamis, dan para elitnya di Sulsel sangat beragam dengan kapastas dan kualitas mumpuni leadershipnya.
Sebut saja sejumlah tokoh, seperti munculnya Adnan Bupati Gowa yang berpotensi dapat dukungan dari NH dan SYL sebagai tokoh yang sangat disegani di Golkar. Fahsar Padjalangi yang juga berpotensi dapat dukungan dari tokoh senior Andi Matalata. Andi Kaswadi Bupati Soppeng juga berpeluang dengan dukungan dari Aksah Mahmud. Tak ketinggalan Andi Sudirman Sulaiman yang juga berpotensi dapat dukungan dari Andi Amran Sulaiman kakaknya yang relatif punya hubungan dekat dengan para petinggi Golkar.
Artinya, dengan peta politik itu, Taufan sangat tidak cukup aman dalam percaturan politik Sulsel. Lebih lagi dengan karakter politiknya yang diklaim enggan melakukan rekonsilisasi dan konsolidasi dengan para elit maupun tokoh senior menjadi ancaman sendiri bagi Golkar di masa depan. Jangankan mengharap kemenangan hingga 70% seperti dijanjikannya. Saya kira, sulit mempertahankan kemenangan yang ada sekarang saja. Bila ia gagal menjalin komunikasi politik itu. (*)