Oleh : M  Ridha Rasyid*

Operasi Tangkap Tangan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap Bupati Nganjuk merupakan  rangkaian persoalan korupsi yang sesungguhnya sudah berlangsung lama, terlebih setelah era  reformasi  berkumandang.

Betapa tidak, dengan pemilihan langsung sebagai pilihan demokrasi terbaik (?) membutuhkan biaya yang sangat besar. Bahkan ada yang pernah melakukan studi empiris dengan hasil kalkulasi biaya paling sedikit 12 milyar rupiah   hingga 100 milyar, tergantung dari kondisi daerah. Itu khusus untuk pemilihan kepala daerah.

  Kabupaten, kota dan provinsi. Mengapa itu bisa terjadi dan sebesar itukah ongkos politik yang harus dikeluarkan?  Pertama, tidak ada makan siang gratis, begitu pameo  elit partai politik. Bukan “membeli” partai. Ini pasti akan di bantah oleh pengurus partai bahwa “kami” tidak “menjual” partai untuk mengusung calon. Walaupun sejatinya, sulit dipisahkan antara makna membeli dengan ongkos. Ujung ujungnya bermuara pada biaya. Biaya itu adalah fulus.

Kedua, kampanye  yang berlangsung lama,  paling tidak enam bulan lamanya. Durasi sosialisasi dan kampanye sama lamanya.  Artinya,  waktu yang dibutuhkan untuk pengenalan diri dan  menyampaikan visi, misi dan program serta kebijakan  yang akan dilakukan kepada masyarakat  (konstituen bila dia dipilih)  membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dan dari sini pula sudah mulai ada persaingan antara para bakal calon.

Oleh karena ada keinginan lebih jauh untuk mendapatkan empati  rakyat. Persaingan itu muaranya juga adalah uang. Ketiga,  pembentukan tim, mulai dari tim inti sampai relawan dan tentu saja ada pendekatan khusus kepada media mainstream, semuanya itu butuh ongkos. Mulai dari rapat ke rapat serta pertemuan yang dilakukan hingga deklarasi dukungan yang dikumpulkan dari sejumlah organisasi atau komunitas yang juga perlu pembiayaan.

Keempat,  ada yang pernah mengatakan bahwa untuk bisa memenangkan suatu pilkada maka “dekati^  penyelenggara. Makna nya tentu saja seluruh perangkat yang berkenaan dengan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di semua hierarkhi mulai dari kpps,  pps, ppk, saksi, pengawas tidak luput dari adanya “perhatian  khusus”. Tahu sama tahu pun menjadi sebuah makna yang harus diterjemahkan tersendiri.

Namun, pucuknya  juga adalah uang.  Kelima, ketika terjadi sengketa hasil yang diajukan ke ranah hukum, juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Seluruh komponen yang bisa menguatkan bukti  harus di “suguhi” kertas berharga  itu. Sebab itu, mungkin tidak tepat kalau kita katakan bahwa semuanya serba uang, tetapi tidak ada sesuatu yang dapat diselesaikan tanpa fulus agar semua bisa berjalan mulus.

Cikal Korupsi
Ini merupakan awal dari akan terjadinya sebuah tindakan koruptif.  Kenapa? Ada beberapa alasan  orang ingin menjadi pejabat publik, terutama yang namanya kepala daerah, pertama, status sosial.

Dengan menjadi kepala daerah seseorang yang terpilih serta merta akan berubah panggilannya. Pak/Ibu Bupati, Pak/ibu Walikota, Pak/Ibu Gubernur  sama juga dengan wakilnya. Penghormatan khusus secara protokoler menjadi keniscyaan  dengan jabatan yang melekat, kedua, sebagai penguasa wilayah dalam pemerintahan, kepala daerah memiliki kewenangan selaku decicion  maker.

Walaupun undang undang mengatakan penyelenggara  pemerintahan di daerah itu adalah kepala daerah bersama dewan perwakilan rakyat daerah. Tetapi dalam kenyataannya bertumpu pada kepala daerah. Bahkan, banyak yang salah kaprah bahwa kepala daerah punya hak preogratif untuk menempatkan pegawai pada suatu jabatan.

Padahal, penempatan seseorang dalam jabatan untuk tingkat pemerintah daerah diatur dalam undang undang pemerintahan daerah yang memenuhi syarat formal administratif dan kompetensi. Sangat berbeda otoritas yang dimiliki oleh seorang presiden yang memiliki kewenangan preogratif  itu yang tidak disertai dengan syarat formal.

Artinya siapapun bisa ditunjuk untuk jadi pembantunya. Baik swasta,  akademisi, aktivis dan aparatur sipil negara. Itulah makna hak preogratif itu, ketiga, pembiayaan yang melekat pada jabatan.

Memang dari sisi penghasilan resmi seorang kepala daerah tidaklah seberapa.  Tetapi dibalik itu seluruh biaya yang menjadi tanggungan dengan jabatan itu dibiayai melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah. Mulai dari sendok dan garpu hingga bahan bakar kendaraan yang digunakan itu dibiayai oleh pemda, keempat, dengan jabatan itu pula seorang kepala daerah punya keleluasaan untuk berbuat baik kepada masyarakat atau sebaliknya.

Dalam hal ini, banyak tergantung dari niat awal untuk menjadi seorang kepala daerah, kelima, sejatinya jabatan kepala daerah itu adalah tonggak kepribadian  untuk banyak berbuat baik. Keberkahan jabatan kepala daerah dapat diukur dari seberapa bahagia rakyat yang dipimpinnya  merasakan terpenuhinya kebutuhan dan kepentingan mereka.

Korupsi kepala daerah dapat ditelusuri dalam beberapa aspek, pertama, visi dan misi,  program serta kebijakan mau atau tidak harus tergambarkan dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah sesuai periode kepemimpinanya yang kemudian dijabarkan  dalam rencana kerja pembangunan  daerah (tahunan/setiap tahun).

Dan dalam hal ini, target kinerja juga terdeskripsikan dalam dokumen anggaran yang menyertai. Pembiayaan atau anggaran dalam setiap item kegiatan yang sering kali “dimainkan”. Baik berupa penggelembungan biaya maupun proyek titipan pada satuan kerja perangkat daerah, kedua, pengadaan barang dan jasa melalui berbagai proyek. Diatur sedemikian rupa siapa yang bakal mendapatkannya.

Biasanya, sebagai imbalan jasa bantuan yang didapatkan selama masa oencalonannya hingga ia terpilih. Tentu saja, sekali lagi, tidak ada makan siang yang gratis. Anda butuh biaya untuk jadi pemimpin, maka ketika anda jadi pemimpin harus ingat dan berikan apa yang seharusnya anda lakukan serta kembalikan untuk itu. Frase perjanjian lisan yang bisa melingkupi  kedekatan pengusaha dengan seorang bakal calon, calon hingga terpilih, ketiga,  jual beli jabatan. Ini sebenarnya “lagu lama”.

Sudah ada sebelum reformasi itu bergelar. Dulu, seorang pegawai bisa dapat jabatan karena kedekatan. Baik itu hubungan kekeluargaan maupun karena setianya untuk jadi “jongos”. Nanti setelah menduduki jabatan baru ada “wajib setor”.

Setelah reformasi berlangsung semua menjadi transparan, telanjang dan tidak ada rasa malu untuk membeli jabatan, pada saat yang sama pemimpin pun merasa “bangga” untuk menjual kewenangan menempatkan  seorang pegawai dalam jabatan. Ada simbiosis  mutualisme. Anda mau beli saya jual atau anda jual saya beli. Ini bukan  lagi suatu rahasia. Tapi umum sudah tahu praktek ini berlangsung.

Meskipun sudah ada perubahan mekanisme rekrutmen  melalui seleksi, tetapi kewenangan seorang kepala daerah untuk memilih dan menentukan dari urutan hasil seleksi itu, membuka ruang untuk terjadinya transaksi. Lalu apa bedanya dengan dulu. Singkamma  ji, dalam dialek bahasa Makassar  yang artinya sama saja.

Praktek korupsi  jual beli jabatan ini merupakan kunci dari rusaknya sistem pemerintahan pasca orde baru. Zaman reformasi yang seharusnya semua serba baharu dalam pengertian positif. Terjadinya perubahan mendasar dari mentalitas berpemerintahan yang baik. Good Government serta Clean  Government yang berujung pada terciptanya  Good  Corporate  Governance  hanya menjadi “penghas” pidato  para pemangku jabatan.

Tidak dalam praktek dengan penuh kesungguhan, keempat, komisi dari pemberian proyek selain kepada kolega yang “setia” mendukung juga mewarnai praktek koruptif itu oleh kepala daerah. Mungkin bukan langsung kepada pribadi sang kepala daerah, namun melalui  “antek-anteknya” yang bermain di lapangan, kelima, jangan lupa  pula, praktek koruptif  juga terjadi melalui  istri kepala daerah. Jaringan yang dibangunnya  melalui organisasi  yang tersandang padanya selaku istri.

Seringkali ini lebih efektif komunikasi dua arah  dalam memengaruhi keputusan yang akan ditempuh oleh sang suami. Kesimpulannya banyak jalan dan celah yang bisa dimanfaatkan untuk melancarkan suatu hubungan yang saling menguntungkan. Sehingga, tidaklah keliru jika dikatakan bisnis jabatan itu sangat menggiurkan.

Menutup ruang korupsi  kepala daerah

Sebenarnya, bukanlah sesuatu yang sulit untuk bisa memeinimalisir ruang terjadinya korupsi untuk dapat dilakukan seorang kepala daerah. Pertama, perlu merubah posisi kepala daerah sebagai pembina kepegawaian. Oleh sebab jabatan kepala daerah itu bersifat politis,  maka jabatan yang melekat (ex-officio) selaku pembina kepegawaian harus ditiadakan. Ini sesungguhnya bukan suatu ide baru. Sudah lama dibicarakan.

Namun ketika ingin merubah dalam bentuk undang undang selalu “terganjal” pada putusan politik bersama di parlemen.  Baik oleh pemerintah juga anggota dpr. Artinya, seorang kepala daerah juga tidak ingin kehilangan kewenangan itu dengan berbagai alasan. Pada saat yang sama, anggota dewan pun tidak ingin itu ditiadakan atau dihapus dari redaksi pasal  dalam aturan.

Sebabnya,  kepala daerah adalah usungan dari partai politik. Maka, “bisik bisik” untuk menempatkan kerabat, kolega atau siapapun pada suatu jabatan  akan lebih mudah dan “lancar”. Political Will dari parlemen dan juga Pokicy Well dari pemerintah pun seharusnya ditujukan untuk terciptanya pemerintahan yang baik.

Sampai kapanpun,  korupsi akan tetap ada, meskipun berbagai aturan diadakan untuk upaya pencegahan,  sepanjang ketidak-jelasan kewenangan yang terangkap  itu tetap ada, korupsi kepala daerah pun akan tetap ada, kedua, pemilihan kepala daerah langsung perlu dipertimbangkan kemanfaatan-nya dengan kemudharatan yang melingkupi mekanisme ini. Pemilihan langsung bukankah satu satunya cerminan  demokrasi itu.

Melalui perwakilan juga adalah bagian dari demokrasi, bahkan pemilihan oleh pemerintah pusat melalui usulan perwakilan rakyat daerah juga bagian dari demokrasi itu. Yang tidak demokratis, jikalau Presiden atau Menteri Dalan Negeri langsung menunjuk orang tanpa alternatif pilihan. Perlu dipertimbangkan di masa depan akan sebuah mekanisme yang apik, demokratis dan memberi kebahagiaan kepada rakyat dalam memilih pemimpinnya.

Selain tujuan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, juga untuk menutup celah  terjadinya praktek korupsi. Untuk menutup tulisan ini saya ingin mengintrodusir kata sahabat saya yang telah lebih dulu wafat, mengatakan bahwa pelaku korupsi  itu disebut koruptor. Koruptor itu adalah akronim dari” korban ulah perbuatan otak kotor”  dan korupsi itu terjadi karena “kursi” yang juga merupakan akronim dari” karena uang  rusaklah sistem itu” . (penulis Praktisi dan Pemerhati Pemerintahan)

BAGIKAN
Berita sebelumyaDua Milenial Pimpin Partai UKM Indonesia
Berita berikutnyaNagee Siapkan paket Ramadhan Hampers dengan harga ekonomis
Wartawan kriminal dan politik harian Pedoman Rakyat Ujungpandang dan sejumlah harian di Kota Daeng Makassar, seperti Ujungpandang Ekspres (grup Fajar) dan Tempo. Saat ini menjadi pemimpin umum, pemimpin perusahaan, dan penanggungjawab majalah Inspirasi dan Website Inspirasimakassar.com. Sarjana pertanian yang juga Ketua Umum Senat Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (STIP) Al-Gazali--kini Universitas Islam Makassar ini menyelesaikan pendidikan SD di tanah kelahirannya Siri Sori Islam Saparua, SMP Negeri 2 Ambon, dan SPP-SPMA Negeri Ambon. Aktif di sejumlah organisasi baik intra maupun ekstra kampus. Di organisasi kedaerahan, bungsu dari tujuh bersaudara pasangan H Yahya Pattisahusiwa dan Hj.Saadia Tuhepaly ini beristrikan Ama Kaplale,SPT,MM dan memiliki dua orang anak masing-masing Syasa Diarani Yahma Pattisahusiwa dan Muh Fauzan Fahriyah Pattisahusiwa. Pernah diamanahkan sebagai Ketua Ikatan Pemuda Pelajar Siri Sori Islam (IPPSSI) Makassar. Kini, Humas Kerukunan Warga Islam Maluku (KWIM) Pusat Makassar dan Wakil Sekjen Kerukunan Keluarga Maluku (KKM) Makassar.

TINGGALKAN PESAN

Please enter your comment!
Please enter your name here