Setelah membidik beberapa momen, kami melanjutkan perjalanan ke Tana Toraja. Mulai memasuki perbatasan Enrekang-Tana Toraja, jalanan kurang mulus. “Jalanan disini kurang bagus ya,” keluh Ais.
Sekitar pukul 17.00 Wita, kami tiba di Hotel Misiliana. Kami disambut seorang gadis berpakaian khas Toraja. Dia cantik. Saya sempat melihat lirikan dan senyuman manisnya. Si gadis berumur sekitaran 17 tahun ini juga menyuguhkan minuman dingin kepada kami. Dari jauh juga terpampang nama Ais bersama tamu mancanegara lainnya yang dipajang di depan pintu masuk hotel mewah tersebut.
“Kita istirahat sebentar, baru jalan-jalan ya,” ujar Ais kepada saya. Saya mengiyakan. Kami pun masuk ke kamar masing-masing. Ternyata, suami Ais panas dingin, sehingga tidak bisa keluar sore dan malam hari. Saat malam, saya dan supir, sempat menikmati keindahaan Kota Rantepao. Di ibukota Toraja Utara ini, kami menikmati makanan ringan di rumah makan milik orang Jawa.
Ais kemudian memberi pesan lewat WA. Dia bertanya program dan rute perjalanan keesokan harinya. Senin. Saya jawab, pukul 04.00 ke Negeri di Atas Awan- Lolai. Setelah itu ke Ke’te Kesu, ke Londa, Lemo,, dan sejumlah tempat wisata lainnya. Hanya saja, tepat pukul 03.05 Ais mengirim WA. “Din, Ismael masih panas. Ais tidak berani jalan-jalan. Tunggu sampai pukul 06.00, nanti liat ya?”
Kami tidak melihat sempat menyaksikan awan yang berarak dengan cantik di depan dengan mata telanjang. Kami tidak melihat gugusan awan putih yang dihiasi pancaran sinar matahari pagi dari balik awan, yang terlihat lebih rendah dari posisi berdiri di puncak. Dan, kami tidak melihat pemandangan cantik yang bisa didapati di Puncak Lolai, yang berlokasi di Lembang Benteng Mamullu, Kecamatan Kapalapitu, Toraja Utara ditambah jajaran tongkonan di puncak Lolai, yang menambah unsur tradisionalnya.
Sekalipun demikian, setelah sarapan pagi, kami melakukan perjalanan ke sejumlah obyek wisata yang tak kalah menarik. Kami memulainya di Ke’te Kalo. Untk menuju ki sini, terlihat hamparan sawah berteras nan menghijau, semakin membuat daya tarik.
Di Ke’te, saya dan Ais mengelililingi lokasi wisata itu. Di sini terlihat tongkongan (rumah leluhur). Disini juga ada sebuah museum. Ada penjual lukisan dan pernak-pernk khas Toraja. Seorang nenek pandai berbahasa Inggris. Dia mempromosikan hasil karya anaknya. Dari Ke’te, kami melanjutkan perjajalanan ke Londa. Di pintu masuk, terlihat seekor kerbau diikat. Di sini Ais tidak berani masuk goa. Makanya, kami berdua hanya membidik kuburan di batu menjulang tinggi. Semuanya terpeliharanya dalam bingkai adat budaya. Karena masyarakatnya sangat menghormati leluhur dengan tetap menjaga eksistensi pekuburannya.
Setelah puas jalan-jalan, saya berkelakar ke Ais, mengapa memilih Tana Toraja? Baginya, Toraja adalah daerah yang indah. Menjelajah Toraja tidak bisa dalam waktu singkat, melainkan beberapa pekan. Selain alamnya yang indah, juga banyak ritual budaya yang khas. Luar biasa, dan tidak pernah kami temukan di tempat lain. Disisi lain, kekagumannya terhadap Tana Toraja, karena masih memilihara kultur dengan baik.
“Sepanjang perjalanan, kita bisa melihat sungai yang mengalir tak jauh dari bibir jalan. Disini hutannya terpelihara dengan baik. Indah. Ditambah lagi udaranya sejuk dan segar. Kebun kopi dan tanaman buah lainnya pun menarik perhatian. Kebudayaan disni mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma , serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain,” ujarnya.
Seperti diketahui, Toraja mempunyai dua macam ritual utama. Pertama disebut ritual timur — dikenal sebagai upacara matahari terbit dan asap naik, ditujukan untuk kesuburan tanah dan kemakmuran. Acara panen padi, adalah bagian dari ritual barat atau dikenal sebagai upacara matahari terbenam. Termasuk didalamnya upacara pemakaman. Keduanya melibatkan binatang korban seperti kerbau, babi, maupun ayam sebagai persembahan kepada nenek moyang, serta distribusi daging yang sangat rumit untuk apa saja yang hidup. Melalui distribusi daging, kerjasama yang melibatkan hutang budi dan kewajiban diturunkan dari generasi ke generasi.
Suku Toraja menanam padi untuk sekadar hidup dan kopi untuk mendapatkan penghasilan. Secara tradisional, mereka tinggal di desa di puncak bukit yang dikelilingi benteng terdiri dari dua hingga empat puluh rumah indah dengan atap yang luas dan besar, menyerupai tanduk kerbau. Sampai akhir tahun 80an, desa-desa ini secara politis dan ekonomis adalah desa swasembada, sebagian karena adanya perlindungan terhadap perdagangan budak dan sebagian akibat permusuhan antar kelompok yang disertai dengan perburuan kepala manusia.
Toraja mempunyai hubungan yang kuat secara emosional, ekonomi, dan politik antar kelompok mereka yang berbeda-beda. Pertalian yang paling dasar adalah rarabuku, yang bisa diterjemahkan sebagai keluarga. Toraja memandang kelompok ini sebagai hubungan darah dan tulang, yang dimaksud sebagai hubungan di antara orang-tua dan anak atau keluarga inti.
Karena Toraja membentuk kekerabatan secara bilateral, baik melalui ibu dan bapak, kemungkinan untuk melebarkan konsep rarabuku semakin berkembang ke segala arah. Suatu kelompok lain yang penting dari sistem kekerabatan Toraja dimana mereka berafiliasi adalah tongkongan (rumah leluhur), yang berbeda dengan banua (rumah biasa). Tongkongan adalah unit sosial terdiri atas sekelompok orang yang menganggap mereka berasal dari satu keturunan nenek moyang asli.
Struktur fisik tongkongan pada waktu-waktu tertentu diperbarui dengan mengganti atapnya. Ritual ini dihadiri oleh anggota kelompok sosial dan diiringi oleh tarian yang menyerupai ratapan, di mana roh-roh diminta untuk datang. Bentuk afiliasi penting yang ketiga disebut saroan, atau kerja sama kelompok desa. Kelompok-kelompok ini diperkirakan berasal dari kelompok para petani yang berasal dari dusun kecil. Berawal dari kerjasama dalam pekerjaan dan perdagangan, kerjasama saroan berkembang ke dalam aktivitas ritual juga.
Pada saat ritual pengorbanan dan pemakaman terjadi, kelompok-kelompok ini saling bertukar daging dan makanan. Keluwesan afiliasi ini adalah mereka bertanggung jawab sepenuhnya pada persiapan dan penampilan rumah mayat untuk pemakaman. Orang Toraja mencoba membuktikan pentingnya hubungan melalui partisipasi dan kontribusi nyata pada upacara pemakaman, yang memungkinkan kesempatan untuk membuktikan bukan hanya ketaatan kepada almarhum orang-tua, tetapi juga usaha untuk mendapatkan bagian dari warisan tanah yang ditinggalkan.
Banyaknya tanah yang bisa diwarisi seseorang dari almarhum mungkin tergantung dari jumlah kerbau yang dikorbankan di pemakaman almarhum orang-tua. Kadang-kadang seseorang bahkan menggadaikan tanah mereka untuk bisa mendapatkan kerbau yang bisa dikorbankan di pemakaman agar mereka bisa ikut mendapat bagian warisan tanah almarhum. Karena itulah, persaingan untuk pengadaaan pesta besar sangat tinggi.
Dengan ledakan industri minyak di tahun 1960-an dan 1970-an, terjadi migrasi besar-besaran di antara pemuda-pemuda dari dataran tinggi Sulawesi yang mencari pekerjaan di Kalimantan Timur. Selama periode ini, banyak dari kaum muda ini menjadi pemeluk Kristen. Tetapi ketika mereka kembali ke desa mereka sebagai laki-laki kaya. Mereka ingin memamerkan status sosial dalam bentuk upacara pemakaman, menyebabkan apa disebut seorang Antropology Toby Alice Volkman sebagai “inflasi ritual”.
Pameran-pameran status ini membangkitkan perdebatan seru tentang keaslian ritual tersebut, apa yang kemudian disebut sebagai ritual orang kaya baru. Sementara pada periode bersamaan, pemerintah Indonesia sedang memajukan kebijakan yang menganjurkan perkembangan ekonomi di sektor non-minyak. Sebagian kebijakan ini memerlukan perkembangan di sektor pawisata, dengan adanya liputan-liputan oleh media Amerika, menyebabkan gelombang orang asing datang berbondong-bondong untuk memahami ritual pembantaian dan penyembelihan kerbau di Toraja. Jumlah mereka meningkat di awal tahun 1990-an. Atas keberhasilan para pejabat tinggi Toraja di mata pemerintah pusat tersebut, maka acara ritual besar mereka mendapatkan status resmi sebagai cabang dari Hindu Bali.
Setelah menikmati alam Tana Toraja, keduanya kemudian bertolak ke Denpasar-Bali, 6 Oktober, kemudian ke Jakarta, Jokjakarta, kemudian Jakarta. Dan tanggal 12 Oktober kembali ke negeri Belanda. (habis)