
Makassar, Inspirasimakassar.com:
Sebagai negara yang berada di ring of fire, Indonesia memiliki potensi bencana cukup tinggi. Sekalipun demikian, Indonesia juga memiliki kearifan lokal dalam menghadapi berbagai situasi, dan ancaman bencana. Malah, bangsa ini berpengalaman dalam memanfaatkan, dan menggunakan potensi kearifan lokal yang ada di tengah tengah masyarakat.
Salah satu potensi lokal yang dapat dijadikan contoh baik dalam penanganan bencana adalah, gotong royong pentahelix. Yakni partisipasi pemerintah, masyarakat, dunia usaha, akademisi, termasuk media.
Demikian yang mengemuka pada ‘Mayor Corner’ yang diselenggarakan Dinas Infokom Kota Makassar, di Hotel Aston, Selasa, 25 Oktober 2022. Kegiatan bertemakan “Makassar Tangguh Tanggap Bencana” itu dibuka staf ahli bidang ekonomi, keuangan dan pembangunan, Irwan Adnan.
Sebelum dua pemateri membedah pokok pokok pikirannya, masing masing Kepala Pelaksana BPBD Makassar, Akhmad Hendra Hakamuddin, dan tokoh pemuda Makassar yang memiliki pengalaman di berbagai bencana, dokter Uddin Shaputera Malik, Irwan Adnan mengaku, kegiatan Mayor Corner, menjadi penting. Didalamnya, ada edukasi dan persiapan, guna mengantisipasi jika terjadi bencana di Makassar. Apalagi, saat ini kota berpenduduk lebih 1,5 juta jiwa ini memasuki musim penghujan.
“Kegiatan yang dilaksanakan hari ini, merupakan bentuk persiapan dan kewaspadaan, sehingga bila terjadi bencana, seluruh komponen siap dan membantu,” katanya.
Di bagian lain Irwan Adnan menyebutkan, di ibukota Sulawesi Selatan ini, sudah tersedia layanan call center 112, atau nomor tunggal panggilan darurat (NTPD). Ini dapat diakses secara gratis dan bertujuan percepatan penanggulangan jika terjadi musibah.
Tampil sebagai pemateri pertama, Akhmad Hendra Hakamuddin mengemukakan, jika terjadi bencana, pihaknya telah menyiagakan personel dan peralatan penyelamatan. “Kita punya 100 kekuatan personel. Tentu ini belum cukup, jadi kami banyak berharap dari relawan,” tutur mantan Kadispora Makassar ini.

Sementara itu, Udin Shaputra Malik mengemukakan, secara geografis, dan geologis, Indonesia terletak di zona pertemuan lempeng lempeng besar dunia, sehingga rentan bencana. Sekalipun demikian, ia mengaku, berbagai kejadian bencana di Indonesia mendorongnya belajar dari pengalaman dalam membangun ketahanan secara kolaboratif.
Tokoh muda belatar belakang dokter ini mendefinisikan, dari berbagai proses perbantuan bencana nasional di berbagai daerah yang pernah dia datangi, misalnya Padang, atau Palu membuatnya kaya pengalaman.
“Pengalaman yang diperoleh dari berbagai bencana di tanah air, perlu dijadikan sebagai kekuatan, dalam menghadapi bencana di Makassar,” ujarnya.
Selama terjun sebagai relawan di sejumlah daerah bencana nasional, dokter Udin Shaputra Malik melihat, sering dipersoalkan adalah, daerah belum siap. Nanti setelah bencana, baru daerah tersebut berbuat. Alasan lain, kurangnya koordinasi, dan komunikais, sehingga, jawaban dari semua persoalan tersebut adalah perlunya sebuah Forum Pengurangan Resiko Bencana (FPRB) berbasis komunitas.
Mengapa perlu pembentukan FPRB? Tidak lain karena, penanganan bencana bukan saja urusan pemerintah semata, melainkan adanya pelibatan masyarakat, utamanya dalam kerangka meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi bencana.
“Makanya, saya sangat mengharapkan di Kota Makassar ini perlu kita bentuk Forum Pengurangan Risiko Bencana, atau FPRB. Forum ini, tentunya dapat mengurangi akibat buruk dari bencana itu sendiri. Karena, persoalan bencana tidak bisa diserahkan kepada pemerintah saja, tetapi juga seluruh unsur dalam pentaheliks,” jelas suami Aulia Aura Imandara Ramdhan Pomanto ini.
Bagi bungsu dari enam bersaudara, pasangan H.Abdul Malik Hamid dan Hj.Hasnaty Nur (Almr) kelahiran Polewali Mandar, 17 Juli 1989 ini, kehadiran FPRB di Makassar memegang peranan penting sebagai wadah bagi ralawan.
Pasalnya, pengelolaan bencana, bukan hanya permasalahan tanggap darurat saja, tetapi juga mitigasi, kesiapsiagaan, dan penanganan pascabencana. Keempat tahapan dalam manajemen bencana tersebut juga saling terkait satu dengan yang lainnya.
Pendekatan people-centered dalam penanganan pascabencana, merupakan pendekatan yang melibatkan penduduk secara aktif dalam berbagai proses penanganan pascabencana, mulai dari perencanaan hingga implementasi.
Malah, people-centered juga memberikan pesan bahwa setiap individu perlu dipertimbangkan dalam proses-proses tersebut. Dengan berfokus pada penduduk maka penanganan pascabencana harus melihat penduduk sebagai korban sekaligus agent of change atau agen perubahan untuk melakukan pemulihan ke arah yang lebih baik.
Sebagai agen perubahan, penduduk perlu diberikan ruang untuk mendapatkan kesempatan dalam memberdayakan diri mereka, adanya kepemilikan, tanggung jawab, dan partisipasi . Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penduduk yang terdampak bencana juga merupakan kelompok yang berpotensi untuk melakukan mitigasi bencana melalui kesiapsiagaan menghadapi bencana dan pascabencana.
Udin Shaputra menyebutkan, beberapa nilai penting yang perlu diperhatikan dalam FPRB yaitu, keterwakilan dari masing-masing aspek, baik gender, usia, dan keberagaman latar belakang anggota. Selanjutnya disesuaikan dengan kebutuhan, serta difokuskan pada peningkatan ketangguhan masyarakat dalam penanggulangan bencana.

Alumni terbaik Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin tahun 2013 dengan IPK 4.00 atau summa cumlaud menilai, Forum PRB merupakan tempat bertemunya, atau wadah berkumpulnya para pemangku kepentingan, baik individu, maupun lembaga yang mempunyai perhatian dan kepedulian yang sama terhadap pengurangan resiko bencana.
Salah satu tujuan dari forum ini adalah, mewadahi para pihak yang berkepentingan dalam melakukan advokasi pengurangan risiko bencana khususnya di Kota Makassar. Apalagi, hadirnya forum ini selain membantu memberikan perlindungan, serta dukungan bagi masyarakat menghadapi bencana, juga bertugas berlandaskan tujuh tujuan yang terkandung di dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana.
“Forum ini juga dapat menjadi media penyuara mengenai isu-isu yang berhubungan dengan pengurangan risiko bencana kepada pemerintah kota, sekaligus menjelaskan dan mengintegrasikan berbagai pihak demi kepentingan pengurangan risiko bencana. Hal itu disebut dengan sinergitas antara pemerintah, media massa, cendekiawan, dunia usaha, dan masyarakat. Dengan begitu dapat memungkinkan pengurangan risiko bencana yang lebih luas,” urai Founder Makassar Siap Sekolah, atau Massikola ini.
Sinergitas pentahelix ini dibutuhkan dalam menyelesaikan permasalahan bencana alam yang terbilang kompleks. Maknaya, dibutuhkan pendekatan dari berbagai sisi yang bersinergi satu sama lain. Pengurangan risiko bencana dapat diwujudkan dengan intervensi berbagai pihak yang bekerja secara kolaboratif, terkoordinasi, sinergis, dan simultan.
Apalagi, demikian Udin, bencana itu bukan saja gempa, banjir, kebakatan,dan lainnya, melainkan bencana kesehatan juga. Vandemi Covid-19 misalnya. Dari sini, ketahuan, kita belum siap betul.
Karena itu, jika saja forum nii tersbentuk di Kota Makassar, bakalan menjadi barometer tanggap bencana bagi daerah lain, khususnya di kawasan timur.
“Cita cita saya adalah, pembentukan forum ini bisa terbentuk hingga ke akar rumput. Yaitu, bukan saja lingkup kecamatan dan kelurahan, melainkan hingga ke RT/RW. Sebab, Tagana, PMI, dan lainnya sudah ada hingga di kelurahan. Jadi alangkah baiknya, semua potensi yang bergerak di bidang sosial, kemanusiaan, dan kebencanaan, agar seluruhnya berkumpul untuk menemukenali apa persoalan yang dihadapi,” tutup pria ganteng berkumis tipis yang dinobatkan sebagai The Most Dedicated Volunteer dari AFS Asia Pasifik tahun 2021 ini.

Dikonfirmasi terpisah Wakil Komandan BAZNAS Tanggap Bencana (BTB) Kota Makassar, Asrijal Syahruddin menyambut baik inisiasi pembentukan
FPRB oleh dokter Udin Shaputra Malik tersebut.
“Kami melihat, niatan tulus dari dokter Udin ini perlu direspon seluruh komponen yang terlibat dalam bencana. Berbagai pengalaman beliau menjadi bekal menjadikan forum ini lebih besar dan berguna bagi masyarakat, khususnya di Kota Makassar,” kata Asrijal Syahruddin.(din pattisahusiwa)