
Oleh : M. Ridha Rasyid *
Presiden Joko Widodo telah memberi contoh baik dengan menjadi orang pertama yang mendapatkan suntikan vaksin. Dan dalam 15 bulan ke depan diharapkan 70% dari jumlah penduduk akan di vaksinasi atau kurang lebih 187 juta orang.
Mengapa vaksinasi itu penting dan amat krusial disegerakan, ada beberapa alasan ilmiah, pertama bahwa untuk memperkuat imun (kekebalan) selain produk imun alami yang di produksi oleh tubuh, kedua, virus ini harus di lawan untuk mempersempit penularan. Sebagaimana kinerja Sars-Cov2 begitu “lihai” bermutasi, maka proses itu harus dihambat, ketiga, untuk membentuk kekebalan massal atau herd imunity, agar virus ini benar benar mengalami “kesulitan” melakukan penularan.
Tetapi juga harus disadari oleh kita, bahwa durasi waktu untuk vaksinasi itu kalah cepat dibandingkan dengan proses perkembang-biakan virus ini, maka bisa jadi produksi virus semakin banyak disamping kemampuan untuk melakukan percepatan vaksinasi itu.
Betapa tidak, ketika suntikan vaksin tahap pertama ke tahap kedua dengan rentang waktu lebih dari empat belas hari, bisa saja terjadi virusnya makin kuat untuk melakukan “penyerangan” balik yang justru makin membuat virusnya yang kebal terhadap vaksin itu.
Oleh karenanya, perlu diperhitungkan kemungkinan kemungkinan seperti itu. Terlebih bahwa terbentuk varian baru dari virus ini yang cara kerjanya lebih cepat meskipun tidak “mematikan” seperti di diintrodusir oleh para pakar. Populasi yang besar dengan karakter imun berbeda beda antar individu, juga merupakan hal tersendiri yang perlu dikaji lebih jauh.
Kita tahu bahwa vaksin, apapun jenis penyakit yang mewabah, akan efektif jikalau pola kerja dari virus itu dikenali lebih dini. Misal, vaksin polio, vaksin cacar, di masa lalu membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membuatnya yang akurasinya lebih “jitu” membunuh virus. Namun, ada suatu hal berbeda di masa lalu keberadaan vaksin dengan sekarang.
Kecanggihan teknologi dan penguasaan dasar pengembangan vaksin kini jauh lebih baik dan banyak pilihan, sehingga epidemi akibat virus lebih cepat bisa dikembangkan.
Massif
Vaksinasi ini perlu dilakukan secara massif dengan cara, pertama, distribusi vaksin ke semua daerah dengan jumlah yang sesuai dan didasarkan pada jumlah penderita. Kedua, penyimpanan vaksin yang membutuhkan wadah pendingin agar tidak mengurangi efektivitasnya vaksin tetap terjaga baik.
Ketiga, pemberian suntikan vaksin didasari potensi orang yang terdepan bisa terpapar. Tidak mutlak petugas kesehatan atau siapapun juga yang tidak secara langsung menangani pasien. Sebab juga harus diperhitungkan bahwa mereka yang melakukan isolasi mandiri ada kemungkinan dan diyakini bahwa orang yang ada dalam rumah itu atau tempat mereka mengisolasi diri punya potensi tertular.
Keempat, pembatasan usia produktif yang didahulukan merupakan hal yang positif, namun juga jangan dikesampingkan pada usia lanjut yang justru rentan terpapar. Kelima, dengan pemetaan wilayah zona merah pada suatu daerah seyogyanya mendapatkan vaksinasi lebih dahulu. Artinya, apapun dan dimanapun yang wilayah dan komunitas yang rentan terjadinya penyebaran menjadi skala prioritas.
Keenam, kepala daerah tokoh masyarakat para pemangku agama menjadi teladan dalam mengedukasi masyarakat akan pentingnya mengikuti vaksinasi.
Segala bentuk penolakan atau resisten atas vaksin itu bisa dinafikan. Bahwa secara sukarela mengikuti vaksinasi menunjukkan kesadaran kita atas pentingnya membentengi diri dari kemungkinan terjangkit, pada saat yang sama dengan menerima suntikan vaksin ini berarti telah menjaga keluarga, menjaga lingkungan sekitar akan kemungkinan terpapar.
Yang tak dapat dilupakan adalah protokol kesehatan 4 M (Mencuci tangan, Memakai masker, Menjaga jarak, Menghindari kerumunan) itu menjadi hal yang secara masif tetap harus dilakukan. Kerja simultan vaksinasi, prokes dan program 3 T ( Test, Tracing, Treatment) adalah satu kesatuan secara bersamaan dikerjakan.
Adapun berbagai keraguan ataupun informasi yang tidak jelas kebenarannya, terkait merek dan asal negara dari vaksin itu bukan lagi hal yang perlu diperdebatkan.
Saat ini yang utama adalah upaya pencegahan dengan segala bentuk yang dapat dilakukan adalah keniscayaan untuk “memerangi” virus yang sudah menjadi pandemi dalam hampir setahun terakhir. Walaupun mungkin vaksin ini tidak serta merta “membumi-hangus”kan virus ini, tetapi paling tidak bahwa semua negara dan manusia di bumi ini punya komitmen yang sama untuk bisa kelua dari krisis multi dimensi dari adanya virus yang ganas ini.
Positivasi
Vaksinasi sedapat-mungkin menjadi sebuah proses untuk menjadi dasar hukum untuk membuat regulasi dan kebijakan penanganan, pencegahan, pengendalian dan tindak lanjuti dalam menyusun action plan.
Sebagaimana rencana pemerintah untuk memberi vaksin kepada lebih dari seratus delapan puluh juta penduduk, bukanlah pekerjaan yang mudah. Terutama pada pendataan penduduk. Ini persoalan yang belum tuntas. Ini juga diakui oleh Ibu Megawati, presiden kelima, saat memberikan sambutan pada hari ulang tahun partainya ke 48.
Bahwa di tengah canggihnya teknologi kita masih berkutat di persoalan yang sama, yakni data, termasuk data penduduk. Kendatipun sudah menggunakan elektronik kependudukan, namun masih saja banyak dari warga negara yang belum terekam data kependudukannya, sehingga berpengaruh pula pada penyusunan data lainnya.
Atas dasar pemikiran itu dan juga secara faktual landasan hukum itu belum kuat, maka perlu ada regulasi undang undang terkait pandemi dan vaksinasi ini. Payung hukum menjadi penting karena pandemi ini telah memberi dampak yang sangat luas, memenuhi seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pandemi covid-19, tidak hanya dipandang sebagai persoalan ekonomi serta kesehatan, tetapi merambah seluruh urat nadi kehidupan. Inilah satu satunya pandemi yang pernah ada di bumi dan dalam sejarah yang sungguh sangat luar biasa berdampak pada seluruh sektor yang menjadi aktifitas manusia. (Praktisi dan Pemerhati Pemerintahan)