
M Ridha Rasyid
Tahun 2020 mungkin sangat berbeda kondisinya dengan tahun tahun sebelumnya. Tidak saja dinamika politik dan ekonomi yang bergejolak sangat dalam sebagai dampak dari pandemi covid19 yang menghantam 193 negara, juga berbagai peristiwa bencana alam yang terjadi.
Selain itu, sejumlah persoalan sosial turut memperkeruh suasana itu, hingga banyak pemerintahan yang kelimpungan mengatasinya. Namun, yang paling dirasakan oleh masyarakat dunia adalah banyak korban akibat terpapar virus corona.
Dari catatan saat tulisan ini ( 12/12/2020, pukul 08, 42 Wita) dibuat sudah mencapai 71.396.451 orang positif, 1.600.147 meninggal dunia. Angka yang amat fantastis, tidak pernah terjadi sebelumnya dalam satu abad terakhir.
Pandemi yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) bulan Mei lalu yang bersumber dari hewan dan ditularkan ke manusia sejak ditemukan di Kota Wuhan, Tiongkok, begitu cepat perkembangannya. Akhirnya, banyak negara yang mengambil tindakan sporadis berupa lockdown, mengunci negaranya, juga penduduknya dari berbagai aktifitas keseharian. Termasuk menutup seluruh pintu masuk dan keluar sehingga tidak ada pergerakan manusia dan barang secara bebas.
Sementara di beberapa negara lainnya menerapkan pembatasan sosial sesuai skala pengaruh yang telah dianalisis oleh para pakar di bidangnya. Sementara itu, upaya penanganan dan pencegahan terus dilakukan. Berbagai penelitian dan uji klinis dilakukan untuk mendapatkan vaksin sebagai “pendobrak” untuk mengatasi, dan oleh beberapa pihak menggunakan istilah memerangi virus ini yang diasumsikan lebih bahaya dari perang konvensional
Sisi lainnya, pergerakan roda ekonomi terhantam dengan kuatnya. Upaya relaksasi yang dilakukan tidaklah cukup mengendalikan serta juga mendorong pertumbuhan. Malah sebaliknya yang terjadi. Minus pertumbuhan hingga mencapai satu digit pun terjadi.
Pemulihan Ekonomi dan berbagai stimulus belum memperlihatkan hasil yang signifikan. Dana stimulan itu hanya digerakkan sebagai “masker” mencegah resesi.
Kontraksi ekonomi dan keuangan mewarnai kinerja pertumbuhan negatif di setiap negara. Sejumlah kekhawatiran pun diprediksi akan terjadi, di antaranya peningkatan angka kemiskinan terbuka dunia di atas 7% , pengangguran mencapai dua digit, terutama di negara negara miskin dan berkembang, sempitnya lapangan kerja dari kurangnya investasi, juga tersingkirnya sektor pariwisata sebagai salah satu indikator peningkatan pertumbuhan, tergusurnya sektor jasa yang menjadi harapan yang masih ada untuk didorong pun mengalami keterpurukan, tranportasi tidak lebih juga sama nasibnya.
Pandemi virus yang mengglobal saat ini, sangatlah berbeda dengan berbagai rentetan wabah dan epidemi yang pernah melanda dunia atau sebagian negara di dunia.
Covid19 merupakan bencana yang berlangsung lama dan belum diketahui kapan akan sirna atau mungkin tidak akan pernah hilang sama sekali. Satu satunya secercah harapan yang didambakan setelah adanya vaksin, memperkecil ruang penyebaran dengan menerapkan protokol kesehatan secara ketat sepanjang masa.
Adaptasi Kebiasaan Baru dengan menggunakan masker sepertinya menjadi keniscayaan untuk jangka waktu yang lama. Bahwa ada optimisme itu pasti. Dengan berbagai upaya yang dilakukan secara berkelanjutan di bidang kesehatan, mudah mudahan ada pelengkap dari ketersediaan cara selain dari vaksin.
Satu Resolusi
Mungkin, dan tidak ada peluang mengadakan berbagai resolusi individu maupun negara di dunia saat ini untuk membuat langkah langkah strategis yang akan dilakukan di tahun depan. Tidak sama ketika kondisi normal seperti tahun tahun sebelumnya, ada berbagai kreasi resolusi yang menjadi komitmen untuk kita kerjakan di tahun mendatang.
Saat sekarang, hanya ada satu resolusi yang dapat kita jadikan landasan melangkah ke depan, yaitu upaya mendorong terbebasnya dunia dari penularan virus ini. Resolusi jeneral yang menjadi asa, mudah mudahan bukan ilusi, untuk bisa terbebas dari virus corona, seraya membuat berbagai upaya untuk membangun sektor lainnya dalam mendukung “perang” terhadap virus ini.
Bahwa ada sejumlah hal dan cita cita di tahun depan itu harus ada, tetapi kita juga harus realistis melihat kondisi hari ini, seraya mengkalkulasi perubahan yang akan dan sedang terjadi sekarang. Juga, berbagai persoalan lainnya sedapat mungkin dapat dikelola dengan baik. Agar tidak memperkeruh suasana yang lebih dalam dampaknya.
Kebersamaan dalam meneropong situasi ini, haruslah menjadi komitmen kita. Mengedepankan ego diri maupun kelompok, boleh jadi bukan saat yang tepat, juga bukan suatu keharusan untuk dicapai. Mengakselerasi berbagai cara untuk suatu kerjasama diantara banyak unsur dan cara adalah hal yang lebih penting untuk dikedepankan. Sikap apatis dan apatah lagi apriori terhadap berbagai cara pemerintah suatu negara menjemputnya seyogyanya dinilai untuk kepentingan bersama.
Menganeksasi berbagai intrik dan kepentingan juga segera bisa diambil, supaya kita tidak semakin terlena dengan cara cara biasa dari yang kita lakukan selama ini. Menafikan pelbagai anasir mengutamakan kelompok , tidak mungkin untuk kita tunjukkan. Hanya ada satu resolusi yang perlu direkomendasikan, bersama mencari solusi membebaskan diri dari kemungkinan terpapar virus Sars 2 ini. Tidak lain.
Konflik dan Demokrasi
Amatan terhadap berbagai gejolak politik dan sosial, meskipun sejatinya hal biasa, namun berbeda nuansanya kala sedang dalam situasi pandemi. Konsentrasi dan fokus penanganan serta pencegahan penyebaran virus corona, menjadi terbelah.
Mungkin hal tersebut menjadi perdebatan publik bahwa berbagai konflik yang terjadi di berbagai negara merupakan rona perputaran politik dan kekuasaan yang dinilai berrkebalikan dengan demokrasi, tetapi sesungguhnya itu merupakan ujian bagi pemimpin pemerintahan memenej resmi kekuasaannya dalam berhadapan dengan pihak yang mengambil posisi berlawanan.
India dan China, juga Negara Arab yang berhaluan keras dalam berhadapan dengan Israel, juga Amerika Serikat dengan China yang sedang berperang dagang dan negara negara Afrika yang sedang bergelut dengan kemiskinan rakyat nya, pada saat yang sama di kawasan Asia Tenggara yang sedang berupaya memulihkan diri dari kejatuhan sektor produksi dan industrinya, dan di kawasan Amerika Latin yang dilanda krisis lingkungan yang parah dan Eropa yang menghadapi multi dimensi sosial dan agama, menjadi ujian pelaksanaan demokrasi.
Perbedaan pandangan dalam perspektif kekuasaan itu mungkin dianggap krusial, tetapi bila dimanja secara baik, justru bisa menjadi potensi kekuatan berdemokrasi yang lebih baik. Oleh karena itu, demokrasi dalam pandangan banyak orang, akan menjadi sesuatu yang bermakna dalam mengukur kepemimpinan yang mengurusi kekuasaan. Perbedaan cara berfikir untuk mewujudkan demokrasi sangatlah lumrah dan sedapat mungkin tidak disumsikan sebagai lawan yang mengganggu kekuasaan itu sendiri.
Kalau sekiranya kita bisa mengakselerasi perbedaan tersebut sebagai upaya mendewasakan dan membudayakan perbedaan untuk menuju suatu kesamaan mencapai tujuan, maka disitulah letak kekayaan cara berdemokrasi. (M Ridha Rasyid–Praktisi dan Pemerhati Pemerintahan)