
Makassar, Inspirasimakassar.com:
Orang Kei menjunjung tinggi nilai-nilai perbedaan. Dalam diri setiap orang Kei telah tertanam nilai-nilai sosial, kekerabatan, dan budaya, seperti yang telah diwariskan para leluhur mereka. Kini, dan kapanpun, nilai-nilai itu tetap dipertahankan karena telah mendarah-daging baik di Kei- Maluku Tenggara sendiri, maupun orang Kei di perantauan.
Demikian tokoh Kei di Makassar, Prof.Dr.dr.H.Atja Razak Thaha,M.Sc, di sela-sela malam pisah sambut 2019-2020. Selain berbagai tokoh masyarakat, pemuda, dan mahasiswa Kei, Provinsi Maluku di Makassar dan sekitarnya, hadir pula Ketua Kerukunan Warga Islam Maluku (KWIM) Makassar diwakili Drs.H.Asri Hidayat Mahulauw, Ketua Kerukunan Keluarga Kristen Maluku (KWAKMAL) Makassar, Pdt.Daniel Sopamena,M.Th. di acara yang berlangsung di Rumah Makan Makassar Kuliner, Jalan Lanto Dg Pasewang, Sabtu, 11 Januari 2020 malam.

Menurutnya, perbedaan di kalangan orang Kei tidak terlepas dari hukum tuhan. Dalam Islam dikenal dengan sebutan Sunnatullah. Makanya, jika saja ada orang yang mempertantangkan perbedaan, maka sama saja orang tersebut telah mengingkari, bahkan melanggar hukum tuhan.
Makanya, di Kei, kehidupan keberagamaan demikian kuat, sehingga demikian sulit pihak pihak tertentu yang sengaja mengadu domba soal keyakinan.
Prof.Atja Razak Thaha yang juga Ketua Kerukunan Keluarga Maluku (KKM) Sulawesi Selatan itu menguraikan panjang lebar filosofi orang Kei, seperti kepala ikan dan telur. Ikan adalah mahluk ciptaan tuhan yang bisa menjadi guru bagi manusia.

Secara lahiriah, ikan selalu berenang maju apapun kondisinya. Ikan tak pernah sekali-kali mundur. Artinya, setiap orang Kei mewarisi sikap pantang menyerah dan pantang berputus asa. Makanya, dalam kehidupan apapun itu, jika ada rintangan harus dihadapi. Satu-satunya cara mengatasi rintangan tersebut bukan mundur, atau menghindar, melainkan menerima dan kemudian mencari jalan keluar dengan baik dan benar.
Di bagian lain, ahli Gizi Indonesia ini juga mengaku terharu. Pasalnya, pada malam pisah sambut bertemakan “Adat Dunyai Ne Baletan Eva” itu bukan saja didahului tiga pemuka agama yakni Islam, Katolik, dan Protestan menyampaikan doa, melainkan diisi dengan kehadiran nyanyian juga dari agama.

“Saya sangat terharu. Seharusnya, kerukunan lain mengikuti apa yang telah dilakukan kerukunan orang Kei di Makassar ini. Orang Kei menjadi contoh yang baik bagi yang lain,” ujarnya, seraya mengharapkan seluruh orangKei di Makassar, menjadikan kota ini seperti kampong halaman sendiri. Makanya, harus dijaga, sekaligus membantu pemerintah kota dalam membangun kota ini menjadi lebih baik.
Sebelumnya, Ketua Kerukunan Keluarga Kei Makassar dan sekitarnya, Herman Joseph Refo juga menyampaian sambutan. Dia mengajak seluruh orang Kei di Makassar untuk tetap menjalin kerjasama.

Sementara itu, Ketua Panitia James Gamganora menjelaskan, kesuksesan malam pisah sambut tidak lain dari kerja bersama seluruh kepanitiaan, termasuk orang-orang Kei di Makassar dan sekitarnya.
“Kiranya, apa yang kita kerjakan dengan tulus dan sungguh-sungguh untuk tulus melayani. Tahun 2019 menjadi kenangan, dan tahun 2020 dilalui dengan harapan baru dan lebih baik,” tuturnya, seraya menambahkan, tema “Adat Dunyai ne Baletan Eva” memiliki makna, adat istiadat orang Evav menghormati sesama manusia, membawa damai sejahtera, dan bersahabat dimanapun.

Seperti diketahui, kekerabatan suku Kei cukup kompleks. Dari kesatuan kerabat yang terkecil dalam masyarakat Kei adalah keluarga inti. Mereka menyebutnya dengan riin rahan atau ub. Gabungan dari keluarga inti ini disebut rahayan atau fam (klen kecil) yang dapat berkembang semakin besar menjadi satu klen besar yang dikenal dengan nama soa.
Sebuah kampung (ohoi) biasanya didiami satu soa. Beberapa kampung bergabung menjadi satu desa yang disebut negeri. Soa-soa yang tergabung di sebuah negeri terbagi dalam dua golongan, yaitu golongan Ursiwa dan Urlima. Kepemimpinan tradisional desa biasanya dipegang oleh orang-orang dari soa yang pertama sekali mendiami daerah itu.

Kepulauan Kei adalah gugusan pulau di kawasan tenggara Provinsi Maluku. Penduduk setempat menyebut kepulauan ini Nuhu Evav (“Kepulauan Evav”) atau Tanat Evav (“Negeri Evav”), tetapi dikenal dengan nama Kei atau Kai oleh penduduk dari pulau-pulau tetangga. “Kai” sebenarnya adalah sebutan dari zaman kolonial Hindia Belanda, dan masih digunakan dalam buku-buku yang ditulis berdasarkan sumber-sumber lama. Kepulauan ini terletak di selatan jazirah Kepala Burung Irian Jaya, di sebelah barat Kepulauan Aru, dan di timur laut Kepulauan Tanimbar.
Kepulauan ini juga terdiri atas sejumlah pulau, di antaranya Kei Besar atau Nuhu Yuut atau Nusteen, Kei Kecil atau Nuhu Roa atau Nusyanat, Tanimbar Kei atau Tnebar Evav, Kei Dulah atau Du Dulah Laut atau Du Roa, Kuur, Taam, serta Tayandu atau Tahayad. Selain itu masih terdapat sejumlah pulau kecil tak berpenghuni. Total luas area daratan Kepulauan Kei adalah 1438 km² (555 mil2). Kei Besar bergunung dan berhutan lebat. Kei Kecil datar dan memiliki populasi terbanyak. Pulau ini sebenarnya merupakan sebuah pulau koral yang terangkat ke permukaan laut. Kei termasyhur berkat keindahan pantai-pantainya, misalnya pantai Pasir Panjang.

Kepulauan Kei merupakan bagian dari daerah Wallacea, kumpulan pulau-pulau Indonesia yang dipisahkan oleh laut dalam dari lempeng Benua Asia maupun Australia, dan tidak pernah tersambung dengan kedua benua tersebut. Sebab itu, hanya terdapat sedikit jenis mamalia lokal di Kepulauan ini. (din pattisahusiwa)