
Makassar, Inspirasimakassar.id:
Manusia, dengan fitrahnya yang spiritual, senantiasa menambatkan diri pada keyakinan dan prinsip-prinsip agamanya. Namun, ironisnya, perbedaan keyakinan seringkali menjadi pisau bermata dua. Yakni, sebagai sumber kekuatan, dan identitas bagi satu kelompok, namun juga potensi pemicu konflik dan perpecahan dengan kelompok lain.
Di sinilah pentingnya dialog. Tidak salah, jika Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB), Sekretariat Jenderal Kementerian Agama menghadirkan empat pembicara, masing masing Kepala PKUB Pusat–Muh.Adib Abdusshomad, M.Pd, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)– Wardi Taufik, Pendeta Bertha, serta Muh.Makmun Rasyid dari Badan Penanggulangan Eksremisme dan Terorisme Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat.
Dialog yang berlangsung di Acacila Hall, Hotel Claro, Rabu, 1 Oktober 2025 dan dipandu Dr.Faulus itu bertemakan “Pemuda Lintas Agama Bersinergi, Berdampak, Saling Menginspirasi untuk Kerukunan Ummat Beragama Demi NKRI”. Kakanwil Kemenag Provinsi Sulawesi Selatan, H.Ali Yafid, juga hadir sekaligus menyampaikan arahan.
Para pemateri sama sama mengakui, dialog yang diikuti para tokoh pemuda lintas agama, Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu itu mengemuka, bukan sebagai alternatif, melainkan esensinya bagi hadirnya harmoni sejati.
Artinya, dialog lintas agama bukanlah upaya untuk menyamakan semua ajaran, apalagi meleburkan identitas keyakinan. Bukan pula ajang untuk saling mengkonversi, atau meragukan dogma masing-masing. Melainkan jauh dari itu, dialog lintas ini adalah sebuah jembatan hati dan pikiran, sebuah proses komunikasi empatik yang dilandasi rasa hormat, kejujuran, dan keinginan tulus untuk memahami.
Di sisi lain, dialog antar agama, adalah ruang aman, di mana setiap individu dari berbagai latar belakang keyakinan dapat bertemu dalam satu ruang, bukan hanya untuk mendengar, melainkan untuk mendengarkan cerita, pengalaman, dan harapan. Dengan begitu, ketakutan ketakutan yang seringkali tersembunyi di balik dinding-dinding perbedaan dapat dicari jalan keluarnya.
Pembicara juga sama sama menyebut, dialog lintas agama dimulai dengan pengakuan fundamental. Dimana, di balik setiap ritual unik, setiap kitab suci yang berbeda, dan setiap cara peribadatan yang beragam, terdapat benang merah kemanusiaan yang mengikat antar sesama.

Setidaknya, ada nilai-nilai universal. Sebut saja, kasih sayang, keadilan, kejujuran, pengampunan, dan kepedulian terhadap sesama dan lingkungan, seringkali menjadi inti dari ajaran agama-agama besar di dunia.
Karenanya, melalui dialog lintas agama, demikian Muh.Adib Abdusshomad, ummat beragama diajak untuk menyelami kedalaman nilai-nilai universal, hingga menemukan resonansinya dalam diri keyakinan lain. “Jika telah menyelami kedalamam nilai nilai universal, tentunya kita telah menyadari bahwa, kita memiliki tujuan bersama yang lebih besar daripada sekadar perbedaan permukaan,” ujarnya.
Muh.Adib Abdusshomad menambahkan, manfaat lain dari dialog lintas agama melampaui sekadar toleransi.
Toleransi itu, jelasnya, seringkali dipahami sebagai “mentoleransi” atau “membiarkan” perbedaan tanpa perlu memahami. Karenanya, di sisi lain, dalam dialog yang dihadiri generasi millenial itu mengajak semua manusia untuk melampaui batas toleransi pasif menuju pemahaman aktif dan penghargaan mendalam.
Ketika seseorang memahami mengapa tetangganya berpuasa, mengapa temannya melakukan sembahyang dengan cara tertentu, atau mengapa rekan kerjanya merayakan hari raya tertentu, maka disitulah dinding-dinding prasangka akan runtuh. Ketidaktahuan yang melahirkan ketakutan akan digantikan cahaya pemahaman yang menumbuhkan empati.
Muh.Makmun Rasyid melihat, ada kalanya, jalan dialog tidak selalu mulus. Ada kalanya perbedaan doktrin yang mendalam terasa tak terjembatani. Namun, bahkan dalam kondisi demikian, dialog tetap berharga. Dialog juga mengajarkan tentang “setuju untuk tidak setuju” dengan cara yang bermartabat, untuk menghormati batas-batas keyakinan orang lain tanpa harus mengorbankan keyakinan sendiri. Ia mengubah potensi konflik menjadi kesempatan menampilkan kebijaksanaan dan kematangan spiritual.
Pendeta Bertha melihat, kerukunan dalam perbedaan dalam tradisi dan iman Kristen yang dikutipnya dalam kitab Roma 12 ayat 18 berbunyi ‘Hidup adalah, hidup dlam dalam perdamaian dengan semua orang”. Di situ disebutkan, kita sedang berbicara bagaimana beragama, melainkan seruan bagaimana seseorang hadir saat ini, bagaimana kita sama sama yakin bahwa bagaimanapun tuhan menempatkan apa yang disebut damai sejahtera.
Menurutnya, hidup dalam damai bukan hanya terjadi begitu saja, melainkan dilandasi komitmen untuk menepati dan komitmen untuk menemukan hidup dalam damai itu sendiri. “Tentunya, kita bersama sama melihat bahwa, kerukunan adalah buah dari kesadaran akan perbedaaan,” jelasnya.
Bertha juga memaparkan lima poin penting, yaitu makna kerukunan, akar kerukunan, bagaimana pengalaman riel sebagai seorang hamba tuhan –seorang pendeta di tengah tengah melayani jemaah, kemudian tolernasi aktif, dan kesimpulan.
Pembicara penutup adalah, Wardi Taufik. Sekretaris Jenderal (Sekjen) Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) itu mengharapkan tugas seorang hamba tuhan adalah memperkaya khasanah budaya, kemudian mendorong kreativitas meningkatkan toleransi dan saling pengertian, serta memperkuat persatuan.
Berbicara tentang keragaman, jelas Wardi Taufik, didalamnya berhadapan dengan sejumlah tantangan, yaitu, intoleransi, eksklusufisme, dan ada polarisasi sosial. Karena itu organisasi keagamaan bukan sekadar tampil sebagai partisipan, melainan aktor yang harus mengedepankan toleransi didalam hubungan antar sesama.
Pada akhirnya, Wardi melihat, dialog lintas agama tidak semata aktivitas, tetapi sebuah filosofi hidup yang mendalam. Malah, menjadi fondasi bagi peradaban yang menghargai setiap individu, setiap keyakinan, sebagai bagian tak terpisahkan dari permata kehidupan yang plural.
Dialog keagamaan mengingatkan, keberagaman bukanlah kutukan yang memecah belah, melainkan anugerah yang memperkaya, sebuah orkestra begitu mulia. Di mana, setiap instrumen memainkan melodi uniknya, namun bersama-sama menciptakan simfoni perdamaian yang indah dan abadi. “Ayo, mari kita bersama sama anak bangsa, kita buka hati, kita rentangkan tangan, dan biarkan dialog menjadi melodi yang menyatukan keberagaman kita,” tutupnya.
Terpisah, Sekretaris ISNU Provinsi Sulawesi Selatan, Dr.Mulyadi yang dikonfirmasi usai dialog di lantai II hotel mewah di Jalan AP Pettarani tersebut mengemukakan, para pemateri telah membedah toleransi beragama begitu gamblang. Tujuannya, Indonesia yang satu, Indonesia yang damai, dan Indonesia yang aman dan sejahtera di mulai dari Kota Makassar.
Di bagian lain, Mulyadi mengakui, pilar spritual yang menopang kekuatan Indonesia, bukan sekadar negara kepulauan terbesar di dunia, melainkan sebuah keajaiban sosiologi. Sebuah bangsa yang tersebar dari Sabang hingga Marauke, yang dihuni ratusan suku, bahasa, dan yang paling fundamental adalah penganut keyakinan yang berbeda yang hidup berdampingan secara damai.
Di tengah kompleksitas Indonesia yang luar biasa itulah, muncul pertanyaan kritis, mangapa bangsa ini yang secara teori memiliki potensi konflik internal yang masif, tetapi mampu bertahan dan tumbuh kuat hingga kini? Bahkan ketika banyak negara di dunia majemuk terpecah belah?
Dekan FKIP Universitas Islam Makasar (UIM) ini kemudian menjawabnya sendiri bahwa, Indonesia memiliki pondasi pritual dan sosial yang tak tergoyahkan. Apa itu? Ya, kerukunan ummat beragama yang begitu kuat dan telah mengakar. (din pattisahusiwa)
