
Guru besar Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, yang juga mantan Kepala Bappeda Provinsi Sulawesi Selatan, Prof. Dr. Ir. Yusran Yusuf menyatakan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) merupakan salah satu instrumen terbaik dalam pengelolaan hutan lestari dan berkelanjutan. Tetapi sistem ini masih memiliki banyak kelemahan dan kekurangan. Salah satu di antaranya, SVLK belum efektif bagi industri kecil bidang kehutanan dan hutan rakyat. Karena itu, ia mendesak pemerintah segera membenahi kekurangan SVLK ini secara menyeluruh.
Pernyataan Yusran ini disampaikan dalam lokakarya sosialisasi program peningkatan kapasitas dan kolaborasi pengawasan hutan serta penguatan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dilaksanakan JURnaL Celebes di Makassar, Senin (31/8).
Yusran yang juga mantan Pjs Walikota Makassar ini dalam presentasinya di lokakarya tersebut melakukan review terhadap beberapa hasil penelitian tentang SVLK. Dalam kurun 10 tahun, menurut Yusran, hambatan implementasi SVLK, terutama bagi bisnis kecil dan menengah berkaitan pemenuhan standar legalitas dan biaya sertifikasi.
Hingga saat ini, biaya sertifikasi masih sangat mahal yang susah dipenuhi usaha kecil dan menengah. Pemerintah telah memberikan bantuan sertifikasi berkelompok. Tetapi ini masih terbatas dan hanya sebatas sertifikasi kepada unit-unit usaha, tetapi tidak ditindaklanjuti degan pembinaan atau pemberdayaan. Padahal, usaha mikro di bidang kehutanan ini sangat membutuhkan bantuan pendampingan sertifikasi.
Meskipun SVLK merupakan sistem yang diakui dunia internasional dan telah membuka pasar bagi industri kehutanan Indonesia terutama di Uni Eropa, Australia dan Amerika Serikat, tetapi belum memberi dampak manfaat bagi usaha kecil bidang kehutanan, serta petani hutan rakyat. Dengan demikian, bagi usaha menengah dan mikro, ada atau tidaknya SVLK, tidak terpengaruh dengan manfaat regulasi itu secara bisnis.
Karena itu, hal paling mendesak saat ini, menurut Yusran adalah pemerintah segera menguatkan regulasi dan implementasi SVLK di level usaha kecil dan petani hutan rakyat. Bagaimana memberikan kemudahan atau insentif kepada usaha menengah dan mikro ketika mengimplementasikan SVLK.
Upaya memperkuat SVLK, menurut Yusran perlu dilakukan dengan peran multipihak, karena SVLK itu sendiri adalah sistem yang dibangun bersama para pemangku kepentingan.
”Diperlukan peran parapihak seperti pemerintah, LSM, lembaga donor dan industri kayu untuk mendorong dan membantu petani hutan rakyat mengimplementasikan SVLK,” unkap Yusran.
Dalam review beberapa hasil penelitian, Yusran menemukan masalah lain juga masih menjadi kendala SVLK adalah masih terbatasnya informasi tentang SVLK bagi petani hutan rakyat. Secara kelembagaan, umumnya secara kelembagaan pengelola hutan rakyat juga masih lemah. Persoalan ini terakumulasi dengan masih mahalnya biaya pengurusan sertifikasi SVLK masih mahal, sementara permintaan pasar terhadap kayu bersertifikasi SVLK dari hutan rakyat masih terbatas.
Kebijakan yang terus berubah-ubah, kata Yusran juga menjadi salah satu kesulitan implementasi SVLK, serta belum sinkronnya kebijakan pengelolaan hutan lestari dan berkelanjutan antar sektor.
Menurut Yusran, pemerintah bahkan dianggap kurang konsisten terhadap penerapan regulasi SVLK. Regulasi SVLK atau terkait SVLK cepat mengalami perubahan sehingga membingungkan kelompok sasaran. Dampaknya pelaku usaha kecil acuh dan enggan mengurus sertifikasi SVLK.
Sementara di sisi lain menurut Yusran, ada juga berbagai upaya melemahkan SVLK, bahkan ingin menghapus. Hal ini tentu diinginkan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan penerapan SVLK karena dianggap menghambat bisnis mereka yang selama ini memang sudah nyaman dengan cara memperoleh kayu atau bahan baku kayu secara ilegal. Cukup mengagetkan juga di awal tahun 2020 ini, Kementerian Perindustrian dan Perdagangan mengeluarkan peraturan menteri yang menghapus v-legal sebagai syarat ekspor kayu bagi industri. Hal ini dianggap bertentangan dengan SVLK. Meskipun akhirnya Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 15 Tahun 2020 itu dibatalkan sebelum berlaku.
Kejahatan Kayu di Lapangan
Selain Profesor Yusran, lokakarya yang digelar JURnaL Celebes ini juga menghadirkan narasumber dari Balai Penegakkan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum KLHK) Wilayah Sulawesi, Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, Balai Pengelolaan Hutan Produksi (BPHP) Wilayah XIII Makassar, dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Selatan.
M. Rempek, penyidik kehutanan dari Gakkum KLHK Wilayah Sulawesi yang menjadi narasumber dalam lokakarya tersebut tampil menarik perhatian peserta karena menceritakan pengalaman sebagai penyidik kehutanan yang harus berhadapan dengan berbagai taktik mafia pembalakan liar dan perdagangan kayu ilegal. Di lapangan, kata Rempek, Gakkum dan petugas keamanan bingung karena hambatan implementasi regulasi.
Menurut Rempek, regulasi sengaja dimainkan di antaranya sengaja dihapus atau dibuat tidak singkron, sehingga aparat penegak hukum satu dengan lainnya justru bertentangan di lapangan. Contoh, kadang Gakkum tidak bisa mengambil tindakan, padahal sudah nyata pihak yang berbuat kejahatan itu bersalah. Kadang juga pihak Gakkum mengambil tindakan tegas, sesuai dengan regulasi, tetapi justru akan bebas di institusi penegak hukum lain.
‘’Nah, siapa yang mempermainkan regulasi atau aturan seperti ini. Saya kira bapak-bapak semua lebih tahu. Siapa yang rubah atau menghapus pasal-pasal di aturan sehingga kejahatan kayu di lapangan bisa lolos,’’ papar Rempek.
Lokakarya ini digelar JURnaL Celebes sebagai rangkaian program penguatan kapasitas dan kolaborasi pemangku kepentingan penguatan SVLK dan pemantauan hutan. Program yang didukung oleh Badan Dunia Urusan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dan Uni Eropa lewat FAO-EU FLAGT Programme ini sebagai masukan untuk implmentasi program dalam satu tahun ke depan.
Kegiatan pertemuan fisik di Hotel Swiss Bell In Panakkukang yang menerapkan protokol pencegahan penularan Covid-19 ini dihadiri sekitar 30 peserta dari unsur pemerintah, pelaku industri dan perwakilan masyarakat lokal/masyarakat adat, organisasi masyarakat sipil.
Dalam program penguatan kapasitas parapihak untuk pemantauan hutan dan penguatan SVLK selama satu tahun ini, JURnaL Celebes akan melakukan serangkaian lokakarya bagi pemerintah, pelaku industri, serta dan pemantauan hutan dan kayu bagi perwakilan masyarakat lokal/masyarakat adat di Sulawesi Selatan. Delapan kabupaten yang menjadi lokasi pemantauan itu masing-masing Gowa, Bantaeng, Bulukumba, Sinjai, Sidrap, Enrekang, Luwu Utara dan Luwu Timur.
Menurut Direktur JURnaL Celebes, Mustam Arif, hasil dari program ini nantinya menjadi rekomendasi yang disampaikan kepada pemerintah sebagai upaya perbaikan tata kelola hutan lestari dan berkelanjutan, khususnya perbaikan dan penguatan SVLK. (nyong-r)