
Makassar, Inspirasimakassar.com:
Kamis (11/6/2020) warga Sulawesi Selatan, khususnya para alumni Harian “Pedoman Rakyat” (PR) dikejutkan oleh berita duka. Drs.H.Luthfi Qadir, mantan wartawan dan anggota DPRD Sulsel, berpulang ke rakhmatullah. Salah seorang tetangga almarhum yang dikontak melalui telepon, belum tahu jika Sekretaris Palang Merah Indonesia (PMI) Sulawesi Selatan itu meninggal dunia.
“Tadi (Kamis) siang beliau meninggal,” kata saya yang membuatnya kaget.
“Iya, kemarin datang Ketua RW memberitahu kalau Pak Luthfi dibawa ke rumah sakit dan tidak boleh dibesuk,” kata tetangganya, yang kebetulan tinggal di lorong di sebelah kiri jalan masuk ke rumah almarhum.
Saya terakhir bertemu dengan Pak Luthfi tahun 2019. Saat itu, saya menunaikan salat magrib di sebelah rumahnya. Dia sempat menjadi imam salat magrib tersebut. Saya melihat secara sepintas, meskipun tidak drop, kesehatannya memperlihatkan dia kurang fit. Saya sempat berbincang-bincang dengan dia di depan rumahnya sebelum kembali ke rumah tetangga yang saya datangi.
Pria kelahiran Soppeng 26 November 1955 ini diterima sebagai wartawan “PR” pada tahun 1979 bersama suatu rombongan besar mereka yang lulus waktu itu. Saya lebih dahulu bergabung dengan PR pada tahun 1976 dengan prinsip “magang” praktik karena kedekatan pribadi almarhum H.Fahmy Myala dengan salah seorang pengasuh rubrik di harian tertua itu, Rosadi Sani. Saya pada tahun 1977 sudah mulai ditugaskan mengikuti peninjauan rombongan Kakanwil Deppen Sulsel ke Gowa, Takalar, Jeneponto, Bulukumba, dan Sinjai.
Cobaan tak terlupakan
Ketika saya menulis buku profil wartawan Sulawesi Selatan tahun 2010, almarhum termasuk salah seorang yang saya wawancarai mengisi buku tersebut. Sebenarnya, saya tinggal minta dia menulis, tetapi saya ingin menulis dari hasil wawancara sendiri. Sebab, saya sudah memiliki format sisi yang ingin dikorek dari setiap orang jika hendak menulis buku seperti ini.
Dia berkisah, baru dua tahun di PR sudah dapat cobaan berat. Saat itu, tahun 1980, dia lupa bulan dan tanggalnya. Usai tugas malam, dia pulang berjalan kaki ke rumah pamannya di Jl.S.Saddang. Sebelumnya, dia harus begadang menunggu penyelesaian akhir semua halaman untuk penerbitan esok hari. Sebagai anggota redaksi piket malam, memang wajib wartawan menunggu hingga akhir kegiatan pracetak. Dia harus memeriksa hasil pekerjaan akhir. Jangan sampai ada kesalahan.
Kalau tidak salah, waktu itu paling cepat pekerjaan pracetak itu pukul 02.00 dinihari. Bisa dibayangkan, pada waktu itu jalan kota yang masih bernama Ujungpandang itu masih sepi. Malam itu, tidak seperti hari-hari sebelumnya. Juga tidak biasa dia pulang ke rumah setelah menyelesaikan tugas-tugas sekitar pukul 02.30. Jarak tempuh dari Jln.H.Mappanyukki, kantor redaksi sekaligus percetakan ke rumahnya di Jln.S.Saddang IV, sekitar 20 menit. Suasana kota sudah sangat sepi. Orang yang berjalan kaki, untung-untung saja kalau ada. Paling-paling yang lewat adalah para pagandeng sayur yang mengantar jualannya ke beberapa pasar tradisional di utara kota.
Tepat di depan Rumah Bersalin ‘’Elim’’, dia berpapasan dengan seorang laki-laki tanggung berlari-lari kecil. Luthfi sama sekali tak menghiraukan pria itu. Tetap saja dia mengayunkan langkah menuju rumahnya. Apalagi sudah dekat. Ketika berada di atas rumah dan siap melepas pakaian yang penuh keringat malam, sekonyong-konyong terdengar suara dari ujung lorong.
‘’Maling!. Maling!,’’ teriakan orang ramai itu semakin nyaring saat sekelompok anak muda ‘’paronda’’ berhenti di depan rumah Luthfi. Mereka memanggil-manggil dan membangunkan penghuni rumah sambil meminta ‘’menggeledah ‘’ isi rumah. Mereka juga memberitahu kalau ada ‘’pencuri’’ yang baru masuk rumah.
Sekitar sepuluh orang bergerombol di depan rumah lengkap dengan peralatan beladiri dan untuk main hakim sendiri ala massa. Ada pentungan, linggis bahkan parang ‘’Toraja’’.
‘’Saya membiarkan ‘’drama perburuan pencuri’’ yang salah alamat itu penasaran, sambil mengeringkan keringat dengan handuk. Saya melihat mereka dari balik kaca nako. Saya berpikir, untung saya sudah sampai di rumah. Bisa dibayangkan, bagaimana seandainya kalau saya masih di luar. Tentu akibatnya bisa fatal,’’ ungkap Luthfi ketika saya wawancarai.
Laki-laki tanggung yang sempat berpapasan dengan Luthfi sambil lari-lari kecil itu, ternyata pencuri yang diburu dan menghilang di tengah kesunyian malam. Ia menyelinap ke Jl. Bulukunyi. Saat melintas di Jln.S.Saddang IV itu, ada di antara “paronda” yang memburu pencuri melihat bayangan sosok manusia masuk ke dalam rumah. Ternyata, mereka mengalihkan perhatian pada sosok Luthfi yang baru masuk ke lorong. Jadi, rupanya mereka curiga kalau yang diburu ada di dalam rumah.
Ini termasuk pengalaman yang selalu dia kenang. Dia tak bisa lupakan sepanjang kariernya dalam dunia jurnalistik hingga saat ini.
Luthfi mulai menggeluti dunia kewartawanan terhitung 1 Januari 1979 hingga awal 2000-an. Dia termasuk rombongan pertama wartawan PR yang diterima secara massal tahun 1978. Jumlah pelamar waktu itu membludak. Masalahnya, PR lagi jaya-jayanya. “‘Seng ada lawan’’, kata orang Ambon.
Setelah diseleksi, ternyata terjaring 25 orang yang ikut pendidikan dan latihan di Balai Wartawan Jl. Penghibur selama beberapa hari. Namun yang bertahan berikutnya tinggal beberapa orang saja. Beberapa nama yang se-angkatan dengan Luthfi adalah Ardhy M.Basir, Darwin Makkasau, Bachtiar M.Amran (alm), Chaerul Muluk Pay (alm), Yasmin Tendan, Anwar Lakasi, Halim Asy’ari, Syarifuddin Soelthan (yang kemudian terpilih sebagai peserta terbaik pendidikan) Saelan Moka, Nureny Binol, Aty Palluda, dan beberapa nama lainnya.
Mestinya Dosen yang wartawan
Selain menjadi wartawan, Luthfi juga aktif di organisasi politik, Golongan Karya. Tetapi, waktu itu belum menjamur partai politik seperti sekarang ini. Melalui pintu Golkar inilah dia sempat istirahat sejenak sebagai pekerja pers karena dipercaya menjadi anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan.
‘’Pengalaman lainnya yang tidak kalah menariknya saat ditunjuk menjadi petugas haji tahun 1989,’’ ujar alumni Fakultas Adab IAIN (sekarang UIN) Alauddin tahun 1983 tersebut.
Sebenarnya saat itu, atas kebijakan Kepala Kantor Departmen Agama Provinsi Sulawesi Selatan Drs.H.Abd.Rahman K, petugas haji diusulkan oleh Kanwil Departemen Agama ke Menteri Agama di Jakarta. Luthfi termasuk di antara petugas haji yang berhasil lolos dan mendapat surat penunjukan sebagai petugas haji tahun 1989. Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan Ahmad Amiruddin keberatan dengan Surat Keputusan Menteri Agama tersebut, dan meminta kepada Ka.Kanwil Departemen segera melakukan tes secara terbuka kepada semua pelamar. Akhirnya, semua pelamar dites secara terbuka di ruang pola kantor gubernur (sekarang kantor Wali Kota Makassar).
Tidak tanggung-tanggung, pengujinya diambil dari dosen bahasa Arab yang juga berkebangsaan Mesir dari IAIN Alauddin. Pas nama Luthfi dipanggil menghadap ke tim penguji dari Mesir, Gubernur Amiruddin melintas. Dia melihat Luthfi. ‘’Lho ini wartawan meliput atau mau ikut tes,’’ tanya Pak Amir, begitu Gubernur Amiruddin akrab disapa.
“Dia peserta tes, Pak,” Drs.H.Umar Shihab (kini Prof.Dr.H.Umar Shihab,MA) sebagai ketua tim penguji yang menjawab.
Rupanya Gubernur penasaran dan berhenti sejenak untuk mendengar percakapan Luthfi dalam bahasa Arab menjawab pertanyaan si Mesir itu tadi.
Kaefa Khal ? (apa kabar ), Alhamdulillah, Thayyib ( alhamdulillah, baik ),’’ jawab Luthfi.
‘’Manismuka ya ahi ? (siapa nama Anda), tanya orang si Arab lagi.
‘’Luthfi Qadir,’’ jawab ayah – saat ini — empat anak (istri Dra,Hj Nuraini, Kepala SD Perumnas 1 Makassar) ini.
Luthfi kemudian menerima beberapa pertanyaan ringan lainnya.
Mungkin karena latarbelakang sebagai seorang pendidik, Gubernur berusaha melacak peristiwa tanpa makna ini. Selesai tes, Pak Umar Shihab dipanggil ke ruang kerja gubernur. Beberapa hari kemudian baru Luthfi tahu kalau dirinya menjadi perbincangan di ruang kerja tersebut. Gubernur ingin tahu kenapa Luthfi bisa menjawab habis pertanyaan orang Arab,… ee.. Mesir… tersebut. Pak Umar Shihab menjelaskan seadanya tentang Luthfi.
‘’Mestinya kamu jadi dosen sambil wartawan seperti temanmu Dahlan (maksudnya, M.Dahlan Abubakar ),’’ gurau Pak Amir pada Luthfi yang ikut kunjungannya ke daerah suatu waktu.
Luthfi diam sejenak kemudian menjawab seadanya.
‘’Wartawan jadi pilihan hidup saya,’’ ujar Luthfi yang hobi olahraga tenis meja ini.
Sudah lebih 26 tahun dia lewati dunia jurnalistik. Banyak suka dan ada juga dukanya. Tidak terbilang organisasi, mulai dari tingkat paling bawah sampai ke level provinsi sudah pernah digeluti dan menghantar ke kursi DPRD Provinsi Sulawesi Selatan lewat pintu Partai Golongan Karya (Golkar).
Profesi wartawan pulalah yang memperkenalkan Luthfi terhadap semua daerah, etnis dan budaya di Suawesi Selatan. Hampir semua provinsi di Indonesia. Juga, beberapa negara di Kawasan Asia Tenggara dan Arab Saudi sempat disambanginya.
Dunia Jurnalistik mulai menggoda saat dia menginjakkan kaki di perguruan tinggi. Walau kiriman uang pas-pasan dari orang tua, Luthfi berusaha berlangganan sebuah harian ibu kota dan membeli radio untuk mendengarkan siaran berita.
Pada tahun 1976-1977 secara kebetulan ada pengumuman di surat kabar langganannya itu yang memuat iklan kursus singkat penerimaan siswa baru bidang jurnalistik. Luthfi iseng-iseng kirim lamaran dengan melampirkan semua persyaratannya. Menjelang satu minggu berikutnya, dia sudah terima surat lewat pos memberitahukan kalau lamaran menjadi siswa kursus tertulis lewat pos diterima.
‘’Enam bulan lamanya saya ikuti kursus tertulis tersebut dan pada ujian akhir dinyatakan lulus,’’ kenang Luthfi.
Berbekal ilmu jurnalisatik yang masih pas-pasan itu dia memberanikan diri mengirimkan tulisan ke beberapa media cetak di kota Ujungpandang (saat ini Makassar). Tulisan pertama sampai ke tulisan berikutnya, dia tidak ingat lagi berapa kali, semuanya tidak ada yang dimuat. Suatu ketika pada tahun 1977, dia antar langsung satu tulisan yang berjudul ‘’ Nyontek di kalangan Siswa ‘’, ke redaksi Harian Pedoman Rakyat di Jln.H.Mappanyukki.
‘’Saya masih ingat, yang menerima tulisan saya saat itu adalah staf redaksi yang bernama Rosadi Sani (almarhum). Beberapa hari kemudian, tulisan itu muncul di halaman dalam Harian Pedoman Rakyat,’’ kata Luthfi.
Masih segar dalam ingatannya, honor pertama dari tulisan itu Rp 1.500. Satu tahun kemudian (Desember 1978 ) di harian ini muncul pengumuman penerimaan calon reporter. Luthfi memberanikan diri mengajukan lamaran. Dari sekian ratus pelamar, dia termasuk di antara 25 orang calon reporter yang dipanggil untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan.
Ngaku Bujang
Suatu ketika dia dan Anwar Lakasi (kini pengacara) mendapat penugasan meliput di Pengadilan Negeri Sungguminasa Gowa. Mereka pergi mewawancarai Ketua Pengadilan Negeri Sungguminasa waktu itu, Siringo-ringo,S.H. Sebelum wawancara dilakukan, Ketua Pengadilan sempat berguyon.
‘’Kalian masih bujangan ya,’’ tanya Siringo-ringo.
Waktu itu usia kedua wartawan PR itu masih rata-rata 25 tahun.
‘’Ya. Oh, masih bujangan, Pak,’’ sahut Luthfi.
Anwar Lakasi yang duduk di samping menendang kaki Luthfi pertanda protes.
‘’Soalnya saat itu kami berdua berstatus sudah kawin,’’ imbuh cerita Luthfi kepada saya.
Dalam perjalanan kembali ke kantor, Anwar Lakasi kembali protes ucapan Luthfi yang memperkenalkan diri bujangan. Mungkin takut bocor sampai ke rumah. Bisa-bisa repot jadinya.
‘’Yang tahu kita sudah kawin untuk saat ini cuma kita berdua. Kalau ini sampai ketahuan pimpinan, kita bisa dipecat. Bukankah persyaratan awal diterima sebagai calon reporter adalah mereka yang belum menikah,’’ papar Luthfi panjang lebar.
Mendengar jawaban Luthfi itu, Anwar Lakasi membenarkan.
‘’Oh benar juga itu kawan. Ini mungkin namanya ’dusta membawa berkah’ ,’’balas Anwar Lakasi.
Luar biasa, teman-teman kita ini. (H.Dahlan Abubakar).