
Oleh. : M Ridha Rasyid *
Mengurai Macet atau dapat di singkat RAIMA, adalah satu persoalan pelik yang dihadapi hampir semua kota, tidak terkecuali kota Makassar. . Judul ini terinspirasi satgas yang dibentuk pemerintah kota Makassar yang disebut Satgas Raika (pengurai kerumunan) sebagai tim operasi lapangan dalam kerangka Program Makassar Recover. Program strategis dan andalan dari Walikota Makassar dan Wakil Walikota Makassar Ramdhan Pomanto – Fatmawati Rusdi.
Raima, Mengurai Macet, sejatinya juga menjadi bagian dari program yang tertuang dalam Makassar Recover, yaitu pemulihan ekonomi dan adaptasi sosial. Perpaduan dua sub program ini dari perspektif transportasi yang akan di jelaskan dalam tulisan singkat ini. Betapa tidak, salah satu sumber permasalahan pelik pembangunan wilayah perkotaan di manapun di dunia ini, adalah masalah lalu lintas kendaraan yang perlu di atur sedemikian rupa. Telah banyak contoh kota yang ruwet kondisi jalannya sebagai akibat dari tidak mempunyai pengelola administrasi perkotaan untuk melakukan rekayasa arus lintas kendaraan ditengah tumbuhnya produksi kendaraan yang terus meningkat.
Macet Permanen
Sejak tahun 2011, telah ada perhitungan yang detail, terkait akan terjadi macet parah dibeberapa ruas jalan di Kota Makassar pada tahun 2025 jikalau tiada regulasi peningkatan jalan baru seperti midle-ringroad, outer-ringroad, jalan layang juga jalan arteri.
Selain itu, tentu saja rekayasa lalu lintas kendaraan di beberapa jalan perlu dilakukan serta mendisiplinkan pengguna kendaraan dalam berlalu lintas adalah keniscayaan. Estimasi terjadinya kemacetan permanen akan benar benar menjadi kenyataan bila, pertama, pertumbuhan jalan tidak sebanding dengan pertumbuhan kendaraan.
Sebagaimana data yang ada bahwa pertumbuhan kendaraan rata rata pertahun sebesar 6% dari jumlah produksi kendaraan nasional. Atau dapat diasumsikan jumlah moda transportasi masuk ke Sulawesi Selatan sekitar 24 ribu, 13 ribu diantaranya ada di Makassar. Baik kendaraan roda empat, roda dua dan tiga serta jenis kendaraan mesin lainnya.
Pada saat yang sama, pertumbuhan jalan hanya sekitar 0,71% atau tidak lebih dari 2 km pertahun, khususnya di Kota Makassar dan di Sulawesi Selatan dengan persentase yang sama pada kisaran kurang dari 8 km pertahun. Yang ada hanyalah perbaikan jalan.
Sementara yang dimaksud penambahan jalan baru itu masih sangat sedikit. Oleh karenanya, pasti terjadi kerentanan penumpukan kendaraan, kedua, rekayasa lalu lintas yang dilakukan di Kota Makassar selalu berubah ubah dan tidak pernah dipatuhi oleh pengguna jalan, khususnya roda dua dan tiga.
Ada beberapa jalan yang di-satu-arahkan, namun selalu saja pengguna jalan berlawanan arah dan itu tidak ditindaki sebagai suatu pelanggaran. Pembiaran yang terus berulang, menjadikan kebijakan itu tidak lagi efektif atau bahkan tidak ada guna sama sekali rambu rambu yang terpasang itu. Kedisiplinan pengguna kendaraan dalam berlalu lintas sejatinya syarat mutlak dan faktor penting menghindari terjadinya kisruh macet, ketiga, penggunaan teknologi informasi di jalan termasuk traffic light manual tanpa pengatur waktu, dalam artian durasi masing masing warna lampu yang tidak sama.
Biasanya lampu warna merahnya lebih lama di banding hijaunya, akibatnya terjadi penumpukan kendaraan. Yang harusnya sama waktu pergantian warna lampu itu. Meskipun pengguna kendaraan agak lama pada titik pemberhentian ketika warna merah, tetapi kala lampu hijau nyala, kendaraan yang akan melaju pun akan habis sampai limit waktunya., keempat, sudah perlu dipertimbangkan penerapan pengawasan dan pengendalian jalan rusak.
Teknologi pengawasan dan pemantauan jalan yang membuat perlombaan akibat rusaknya jalan dapat segera dideteksi untuk dilakukan perbaikan parsial, kelima, sistem informasi kondisi lalu lintas di jalan, selain penggunaan GPS untuk itu saya ingin menyajikan hasil kajian Nippon Koei Jepang seperti berikut
Dari ilustrasi ini penggunaan sistem informasi di jalan bisa dipertimbangkan penerapannya.
Konsolidasi Jalan
Salah satu persoalan mendasar yang dihadapi wilayah perkotaan adalah lahan yang amat terbatas dikuasai oleh pemerintah. Seperti kita tahu, luas wilayah kota Makassar 175,77km2 di mana diantaranya laut atau perairan yang berada pada pesisir dari pulau pulau yang ada, sehingga luas daratannya hanya kurang lebih 76 kilometer persegi setelah ada reklamasi di kawasan Centre Point of Indonesia.
Semua lahan di Makassar menjadi milik publik. Hanya sekitar 2% kurang lebih yang masih dalam penguasaan kepenilikannya oleh pemerintah. Olehnya itu, untuk peningkatan jalan baru, haruslah dilakukan konsolidasi. Caranya, pertama, lahan yang masih dikuasai pemerintah kota itu harus diperjelas peruntukannya, misalnya untuk pembangunan jalan baru, kedua, membeli lahan untuk suatu detail tata ruang infrastruktur jalan baru dengan periodisasi waktu tertentu.
Contohnya, anggaran disediakan secara bertahap atau multiyear pengadaan lahan, ketiga, bekerjasana dengan badan usaha milik negara yang ada di kota Makassar untuk memadu-sinergikan rencana pembangunan mereka, keempat, lahan yang tidak jelas pemiliknya atau biasa disebut tanah tak bertuan itu diambil alih oleh pemerintah dengan mempersiapkan anggaran di kemudian hari bila ada pihak yang menuntut kepemilikannya dan secara sah dibuktikan surat suratnya oleh lembaga peradilan.
Praktek semacam ini sudah lama dilaksanakan di beberapa negara di Eropa maupun di Amerika. Sehingga, ada kelonggaran bagi pemerintah untuk mempersiapkan rencana pembangunan jalan nya. Fasilitas umum yang diserahkan pengembang dapat dkonversikan ke pihak ketiga dengan pola ganti lahan, yang kemudian dipersiapkan untuk pembangunan jalan. Atau misalnya dengan dana tanggung jawab sosial perusahaan digunakan untuk pembelian lahan untuk jalan.
Dengan berbagai cara yang diurai dalam kerangka konsolidasi lahan untuk pembangunan jalan juga dapat dipadukan dengan ketentuan 30% kawasan hijau di wilayah perkotaan dapat diwujudkan. Kalau saat ini, kawasan hijau di kota Makassar baru sekitar 9,8% itu artinya kita masih kekurangan 20,2% atau setara dengan 30kilometer persegi atau sama dengan 400 ribu hektare. Kalau melihat angka itu, mungkin kita bisa bilang mustahil. Tapi dengan komitmen kuat disertai usaha melalui berbagai program dan kebijakan saya yakin dalam satu dekade mendatang itu bisa direalisasikan.
(Penulis, Praktisi dan Pemerhati Pemerintahan)