
Alimuddin Daeng Namba
Perkelahian orang orang terhormat di gedung yang seharusnya steril dari perilaku tidak terhormat, DPRD Kabupaten Takalar. Sulawesi Selatan, menjadi viral di media, sekaligus menuai banyak sorotan dari berbagai penjuru negeri.
Berita dari kejadian ini, telah menyeret nama baik Kabupaten Takalar keluar dari marwahnya sebagai negeri yang dari rahimnya lahir para petarung sejati. Bahkan, mereka tidak pernah ragu mengorbankan kepentingan pribadi, keluarga, dan golongannya, demi rakyat dan tanah tumpah darahnya. Peristiwa di gedung DPRD Kabupaten Takalar itu, adalah sebuah pertunjukan yang sama sekali tidak mencerminkan karakter orang Takalar yang sesungguhnya.
Setelah merenungkan kejadian ini berhari-hari, dan beritanya yang sudah meluas, maka penulis sebagai orang yang tali pusarnya bersemayam di tanah para petarung ini (Polongbangkeng) merasa tergugah, sekaligus merasakan kekecewaan sangat dalam. Karena disaat penulis berharap pada orang orang terhormat ini untuk tetap berdiri digaris terdepan menjaga harkat dan martabat tanah air yang saya banggakan ini, justru mereka menorehkan citra buruk.
Inilah alasan penulis mengungkap pikiran dan perasaan melalui tulisan ini, dangan harapan, agar citra buruk ini tidak menjadi noda yang mencoreng kebesaran sejarah peradaban Takalar yang telah dibangun dengan tetesan darah dan keringat, berujung pada kematian, dan pembuangan oleh orang orang Polongbangkeng, orang orang Galesong, oOrang orang Sanrobone, dan orang orang Laikang.
Kalu saja telah terjadi pemukulan terhadap anggota DPRD Kabupaten Takalar di gedung wakil rakyat tersebut benar adanya, maka itu adalah noda bagi orang Takalar. Karena pemahaman penulis tentang sejarah orang orang Takalar dalam kamus yang mereka pegang, tidak ada kata dipukul. Tetapi yang ada itu kata pertarungan, yang maknanya disederhanakan menjadi perkelahian.
Apalagi kalau ini terjadi pada tokoh, dan kalau ini terjadi pada generasik di masa sesudahku, kata leluhur orang Takalar dalam pesan lontara, maka mereka bukanlah dari garis keturunanku. Kalau secara genetik dia lahir dari garis yang mengalir darahku pada dirinya, maka mereka itu tidak berhak jadi pewarisku, karena mereka telah kehilangan karakterku.
Peringatan keras ini membuat penulis harus mencari fakta kejadian yang obyektif, bukan untuk menemukan siapa yang salah dan siapa yang benar, karena itu bukan kapasitas penulis, tetapi untuk kepentingan kosakata pada kamus lama untuk ditambahkan kata baru pada kamus yang baru untuk rujukan orang orang Takalar, dan fakta yang penulis dapatkan di lapangan, ternyata tidak perlu menambahkan kata baru dalam kamus orang orang Takalar yaitu kata ” dipukul” karena faktanya yang terjadi di gedung DPRD itu adalah “perkelahiran” bukan pemukulan.
Selanjutnya penulis menghimbau kepada para pihak untuk tidak menjadikan peristiwa ini sebagai menu propaganda untuk kepentingan tertentu, demi keutuhan orang orang Takalar dan wilayahnya, cukup sampai disini dan selanjutnya biarkan pihak berwenang yang menuntaskannya di ranah hukum.
Untuk meringankan rasa kecewa, sebagai orang Takalar, kejadian ini murni kriminal karena terpicu dari luapan emosi yang tidak terbendung dari kedua belah pihak, sehingga terjadilah benturan yang mestinya tidak perlu terjadi apalagi pada orang orang terhormat ini. Tetapi sekali lagi, orang orang terhormat ini juga adalah manusia biasa yang pada dirinya tidak luput dari hilaf dan salah.
Semoga kejadian ini menjadi pelajaran yang berharga bagi kita semua, utamanya bagi wakil rakyat Kakbupaten Takalar yang terhormat untuk dipetik hikmahnya, agar lebih mawas diri dalam bersikap dan berprilaku untuk kebaikan bersama, terkhusus di Kabupaten Takalar.
Sekali lagi, mari kita menanggapi peristiwa ini sebagai hal yang wajar. Sebagai manusia biasa dan bisa terjadi bagi siapa saja, sehingga tidak ada jaminan peristiwa seperti ini tidak akan menimpa pihak yang beraksi keras mengutuk kejadian ini.
Bagi pribadi penulis, sebagai orang yang kecewa pada awalnya atas peristiwa ini, setelah mencoba menemukan beberapa alasan kuat yang menjadi pemicunya, mencoba memahaminya, maka sebagai manusia biasa, saya harus berbesar hati, untuk menghilangkan rasa kecewa saya.
Terkhusus kepada para pihak yang terlibat, kalu boleh saya sarankan berjiwa besar menerima kejadian ini sebagai bagian dari pelajaran untuk berbenah menjadi lebih baik di masa datang. Dan kalau bisa, jadikan bulan suci Ramadhan tahun ini, sebagai momentum untuk memperbaiki diri, dan saling memaafkan. Janganlah di antara kita ada yang merasa lebih baik dan lebih benar dari yang lain karena kebenaran itu adalah milik Allah. Semoga keberkahan bagi orang orang yang saling memaafkan senantiasa Allah curahkan kepada mereka.
Mengakhiri tulisan ini, penulis mengingatkan kembali pesan dari orang-orang bijak, “bahwa orang Hebat itu, bukanlah orang yang mampu mengungkap kesalahan orang lain, tetapi mereka yang mampu mengoreksi dirinya atas kesalahnya, dan sanggup memaafkan orang lain yang telah menimpakan kesalahan kepadanya. (*)