Kamis, Januari 1, 2026
Google search engine
BerandaBeritaIndustri Kayu Terancam, JURnaL Celebes Minta Pemerintah Ambil Langkah Strategis

Industri Kayu Terancam, JURnaL Celebes Minta Pemerintah Ambil Langkah Strategis

Mustam Arif

Makassar, Inspirasimakassar.com:

Covid-19 berdampak pada berbagai sendi kehidupan. Salah satunya industri kayu di Sulawesi Selatan.  Makanya, para pelaku industri kayu di provinsi beribukota Makassar ini mengharapkan pertolongan pemerintah. Misalnya, bantuan modal, akses pasar, keterampilan inovatif, dan penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang tidak jadi beban, tetapi memberi nilai tambah.

Perkumpulan Jurnalis Advokasi Lingkungan Celebes yang menamakan diri JURnaL Celebes ini sedang melaksanakan program pemantauan hutan dan peredaran kayu di Sulawesi Selatan. Mereka menilai, kondisi ini akan berdampak ganda. Yakni, ancaman kelanjutan industri kayu, serta upaya penegakan hukum dan regulasi tata kelola kehutanan berkelanjutan.

Karena itu, JURnaL Celebes berharap pemerintah mengambil langkah strategis, bukan hanya insentif jangka pendek selama masa pandemi. Dukungan yang membuat industri kayu bisa bertahan dan bangkit dengan ketersediaan bahan baku yang legal berkelanjutan.

‘’Dari hasil 25 industri kayu besar, sedang, dan kecil, yang kami pantau, tak satu pun mendapatkan batuan insentif pemerintah bagi UMKM di masa pandemi. Industri kehabisan modal dan kesulitan memperoleh bahan baku. Tetapi di sisi lain kami juga menemukan kejahatan pembalakan liar meningkat signifikan di masa pandemi. Jangan sampai industri kayu bangkrut, sementara hutan kita pun habis,’’ jelas Mustam Arif, Direktur JURnaL Celebes dalam acara seri jumpa media dengan topik ‘’Pelaku Industri Kayu Minta Pertolongan Pemerintah Atasi Dampak Covid-19 dan Perbaiki Sistem Verifikasi Legalitas Kayu’’ di Kafe Baca, Makassar, Sabtu (19/6/2021).

Dalam jumpa media yang dipandu Ferdhiyadi N itu, Mustam Arif mengaku, sebelumnya, JURnaL Celebes merilis hasil pemantauan bahwa pembalakan liar (illegal logging) di Sulawesi Selatan meningkat hingga 70 persen dibanding masa sebelum Covid-19. Sementara dalam pemantauan industri, JURnaL Celebes juga menemukan industri kayu di Sulawesi Selatan anjlok.

Pendapatan industri kayu merosot antara 30 sampai 70 persen di masa pandemi. Di Makassar ada industri kayu besar yang bangkrut, dan beberapa perusahaan berhenti sementara, dan hanya beroperasi dalam waktu tertentu.

Karena itu, akhir Mei 2021 lalu, JURnaL Celebes yang didukung Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) melalui Program FLEGT (Forest Law Enforcement Governance and Trade), mengundang sejumlah pelaku industri di Sulawesi Selatan melakukan workshop. Termasuk pelaku usaha yang tergabung dalam Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Sulawesi Selatan dan Asosiasi Pengusaha Kayu Gergajian dan Kayu Olahan Indonesia/Indonesian Sawmill and Wood Working Association (ISWA) Sulawesi Selatan.

Pendampingan dan Jaminan Pasar Lokal

Workshop selama dua hari itu, demikian Mustam, membicarakan banyak hal dengan beberapa rekomendasi. Selain butuh bantuan modal dalam jangka pendek, pemerintah diminta melakukan langkah riil agar industri kayu di Sulawesi Selatan bisa bertahan di masa pandemi dan nantinya bisa bangkit.

Salah satu masalah utama pengusaha kayu di Sulawesi Selatan adalah anjloknya permintaan pasar, terutama pasar lokal. Di masa pandemi, tidak ada permintaan. Jika selama ini industri kayu mengantungkan pada proyek-proyek pengadaan barang dan proyek properti, selama masa pandemi hampir semua proyek pengadaan dan properti tidak terlaksana.

Pelaku industri kayu juga di dalam workshop tersebut meminta pemerintah melakukan pembinaan dan pendampingan industri kayu. Pemerintah diminta turun ke lapangan untuk melihat secara langsung bagaimana kondisi industri kayu di masa pandemi.

Salah satu masalah yang dihadapi industri kayu Sulawesi Selatan adalah serbuan produk luar Sulsel, terutama dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Hal ini tidak sekadar persoalan kualitas, karena pelaku industri kayu dari Asmindo Sulsel menyatakan produk mereka juga berkualitas. Persoalannya adalah image masyarakat terhadap produk kayu misalnya dari Jepara.

Asmindo Sulsel meminta agar proyek pengadaan barang dari pemerintah dan BUMN memprioritaskan industri lokal. Sebab selama ini yang sering terjadi proyek pengadaan skala besar tidak diprioritaskan bagi industri lokal. Asmindo Sulsel juga meminta proses tender perlu melibatkan rekomendasi kelayakan dari asosiasi industri kayu.

Pelaku industri kayu di Sulawesi Selatan meminta instansi pemerintah terkait untuk melakukan pendampingan, pelatihan peningkatan kualitas produk kayu. Tidak sekadar memberikan bantuan dana, tetapi dalam situasi pandemi ini, pemerintah perlu meningkatkan kapasitas terutama dalam inovasi produksi agar bisa dipasarkan secara online. Selain itu membangun komunikasi pasar dan promosi, agar memberi image pada masyarakat bahwa produk lokal Sulsel juga punya kualitas memadai.

SVLK Jangan Jadi Beban

Pelaku industri kayu di Sulawesi Selatan juga meminta pemerintah agar implementasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) tidak menjadi beban industri kayu, terutama industri kecil. Pelaku industri kecil di Sulawesi Selatan menganggap SVLK sebagai instrumen kepastian legalitas kayu itu baru dirasakan manfaatnya oleh industri yang mengekspor produknya.

Sedangkan industri kecil yang juga diwajibkan mempunyai sertifikat legalitas kayu. Kenyataannya tidak ada nilai tambah antara kayu yang bersertifikat dan tidak punya sertifikat. Sementara untuk mengurus sertifikat SVLK harus mengeluarkan biaya sampai puluhan juta.

Industri kayu di Sulawesi Selatan menyatakan tidak ada masalah dengan SVLK, Bahkan SVLK dibutuhkan sebagai jaminan legalitas kayu. Industri kayu saat ini dan ke depan kredibilitasnya juga ikut ditentukan oleh sertifikasi legalitas bahan baku. Tetapi pemerintah mestinya tidak sekadar membuat aturan tanpa memberi manfaat kepada industri kecil.

Pelaku industri meminta agar pemerintah memberi nilai tambah SVLK dengan minimal membedakan harga antara kayu dari industri yang punya sertifikat legalitas kayu yang mendapatkan bahan baku melalui proses yang legal. Selain itu mestinya ada sanksi atau konsekuensi ketika bagi industri yang tidak mempunyai sertifikat legalitas kayu.

Para pelaku industri juga meminta ada subsidi biaya sertifikasi bagi industri kecil. Kalau tidak melalui subsidi secara langsung, mestinya ada klasifikasi sertifikasi antara industri kecil, menengah dan besar. Terjadi sekarang karena biaya sertifikasi disamakan, sementara keuntungan punya sertifikat baru dinikmati eksportir.

Pemerintah pernah menurunkan bantuan sertifikasi berkelompok 2018-2019. Sejumlah usaha kayu di Sulsel mendapatkan bantuan itu. Tetapi, kemudian hanya sekadar bantuan dan setelah menerima sertifikat, tidak ada nilai tambah yang diperoleh, karena itu banyak industri kemudian tidak memperpanjang masa berlaku sertifikat karena dianggap tidak bermanfaat.

Industri kayu di Sulsel juga meminta pemerintah melakukan sosialisasi SVLK dan bila perlu pendampingan terhadap industri. Sebab, banyak pengusaha kayu yang belum mengerti SVLK.

Dari pemantauan terhadap 25 industri di Sulawesi Selatan, JURnaL Celebes menemukan hanya enam perusahaan memiliki SVLK yang masih lima masih berlaku, satu tidak melakukan resertifikasi, dan selebihnya adalah industri kecil yang sebagian besar belum mengetahui SVLK.

Industri Pinisi Terancam

Dalam lokakarya JURnaL Celebes dengan pelaku industri kayu di Sulawesi Selatan juga membahas keberadaan industri kapal/perahu pinisi di Bulukumba yang berbahan baku kayu. Industri perahu di Bulukumba mengalami kesulitan bahan baku, bukan hanya pada masa pandemi. Beberapa tahun terakhir, pinisi yang merupakan produk budaya Bugis tersebut sudah sulit memperoleh bahan baku utama Kayu Bitti (Vitex Cofasus).

Moderator

Pesanan kapal pinisi bertambah, tetapi pembuat kapal kini makin sulit mendapatkan bahan baku utama Kayu Bitti. Daerah Bulukumba, Sinjai dan Gowa menjadi basis Kayu Bitti. Tetapi puluhan tahun menjadi bahan utama pinisi, Bitti sudah sangat berkurang, kecuali di hutan adat Kajang yang masih terjaga. JURnaL Celebes menilai ke depan merupakan ancaman bagi kawasan hutan adat, ketika masing-masing pihak terdesak kebutuhan.

Sukardi, salah seorang pelaku industri kayu di Bulukumba yang terkait dengan pembuatan perahu, menyatakan saat ini ada keprihatinan kalangan pembuat pinisi. Menurut peserta lokakarya JURnaL Celebes dengan industri, suatu ketika kemungkinan pinisi yang tersohor sebagai produksi kebudayaan Bugis tersebut kemungkinan hanya tinggal nama.

Setelah Kayu Bitti berkurang di Bulukumba, pembuat pinisi mendapatkan pasokan dari daerah lain di Sulawesi Selatan. Tetapi, ketika daerah lain di Sulsel juga kesulitan, pembuat perahu mendatangkan dari Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, hingga Maluku, Maluku Utara dan Papua. Tetapi ketergantungan ke daerah lain, tidak akan menjamin pasokan Kayu Bitti bisa berlanjut.

Sebagai produk kebudayaan dari peradaban bahari Bugis, JURnaL Celebes mengharapkan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan perlu memikirkan keberlanjutan perahu pinisi berbahan baku kayu.

‘’Jangan sampai suatu ketika, pinisi terpaksa dibuat dari fiber glass. Lalu apa perbedaannya dengan industri kapal fiber tersebar di seluruh dunia. Pinisi menjadi produk kultural bernilai tinggi, tersohor di dunia bahari, menjelajahi berbagai samudera, dengan teknologi tradisional berbasiskearifan lokal, sebelum kapal modern didukung teknologi canggih,’’ ungkap Mustam .

Lembaga ini beranggotakan para wartawan (jurnalis) dan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM/NGO) ini mengharapkan Pemerintah Sulawesi Selatan mengambil langkah untuk keberlanjutan industri perahu pinisi. Industri pinisi tidak boleh tergantung pada ketersediaan Kayu Bitti di hutan alam yang akan habis. Perlu upaya budidaya, tetapi tantangannya bukan hanya lahan atau teknologi budidaya, tetapi perkembangan kayu jenis ini yang membutuhkan waktu sekitar 30 hingga 40 tahun untuk mencapai ukuran dan kualitas terbaik untuk pembuatan pinisi.

“JURnaL Celebes mengusulkan salah satu cara dengan mengembangkan program konservasi berbasis Kayu Bitti yang bermanfaat ganda, untuk keberlanjutan industri pinisi sekaligus berfungsi ekologis. Pengembangan melalui budidaya silvikultur untuk menjamin proses secara ekonomi dan ekologi,” tutup mantan wartawan Harian Pedoman Rakyat Ujungpandang ini. (din pattisahusiwa)

Din Pattisahusiwa
Din Pattisahusiwahttps://inspirasimakassar.id
Wartawan kriminal dan politik harian Pedoman Rakyat Ujungpandang dan sejumlah harian di Kota Daeng Makassar, seperti Ujungpandang Ekspres (grup Fajar) dan Tempo. Saat ini menjadi pemimpin umum, pemimpin perusahaan, dan penanggungjawab majalah Inspirasi dan Website Inspirasimakassar.com. Sarjana pertanian yang juga Ketua Umum Senat Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (STIP) Al-Gazali--kini Universitas Islam Makassar ini menyelesaikan pendidikan SD di tanah kelahirannya Siri Sori Islam Saparua, SMP Negeri 2 Ambon, dan SPP-SPMA Negeri Ambon. Aktif di sejumlah organisasi baik intra maupun ekstra kampus. Di organisasi kedaerahan, bungsu dari tujuh bersaudara pasangan H Yahya Pattisahusiwa dan Hj.Saadia Tuhepaly ini beristrikan Ama Kaplale,SPT,MM dan memiliki dua orang anak masing-masing Syasa Diarani Yahma Pattisahusiwa dan Muh Fauzan Fahriyah Pattisahusiwa. Pernah diamanahkan sebagai Ketua Ikatan Pemuda Pelajar Siri Sori Islam (IPPSSI) Makassar. Kini, Humas Kerukunan Warga Islam Maluku (KWIM) Pusat Makassar dan Wakil Sekjen Kerukunan Keluarga Maluku (KKM) Makassar.
RELATED ARTICLES
- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments